Permasalahan Kelembagaan di Negara Berkembang
Untuk
melaksakanan pengembangan kelembagaan pemerintahan perlu menelusuri keadaan kelembagaan
di negara berkembang pada umumnya. Tingkat perkembangan kelembagaan di negara-negara
berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai ekologi
adminisrasi. Ekologi administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang
bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Dengan
mengenali berbagai indikator itu kita akan memperoleh gambaran mengenai ekologi
administrasi di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ekologi
administrasi di negara berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang tidak
terlalu menguntungkan bagi bekerjanya kelembagaan. Sebaliknya, kelembagaan yang
terbelakang, artinya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi
kelembagaan yang seharusnya, akan memperburuk keadaan atau lingkungannya.
Hubungan timbal balik antara kelembagaan dan lingkungan ini amat besar
intensitasnya dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi lainnya.
Pendekatan
untuk telaah pengembangan kelembagaan pemerintahan akan dilakukan dari sisi
administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari sistem administrasi
negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada birokrasi, baik
sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya. Yang
dimaksud dengan birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi,
yang memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat umum (overall) yang mempengaruhi pelayanan publik yang bersifat
tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial ekonomi di negara berkembang.
Mengenai
cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred W. Riggs menjelaskan bahwa
birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan
tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena
statusnya itu. Menurut Fred W. Riggs, Hoessein bahwa
istilah birokrasi dapat dipilah menurut “content” dan “context”nya. Konteks
merujuk pada setting dari birokrasi itu berada, yang dapat dibedakan atas
birokrasi private dan birokrasi
publik. Birokrasi publik terbagi atas birokrasi partai, birokrasi dalam lembaga
legislatif, birokrasi dalam lembaga yudisial, dan birokrasi eksekutif bahkan
birokrasi dari perusahaan negara. Konten dipilah atas dua dimensi:
sipil-militer dan karir non karir sehingga hasilnya menjadi empat sel, yakni:
sipil karir, sipil non karir, militer karir dan militer non karir.
Studi
awal mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya diberikan oleh Riggs
(1985). Ia menggambarkan taraf-taraf perkembangan administrasi mulai dari
tingkat terbelakang sampai yang paling maju. Riggs mengemukakan suatu teori
yang dikenal sebagai the theory of
prismatic society, di mana ia menempatkan fase transisi dalam perkembangan
suatu masyarakat sebagai prismatic
society, yang apabila ditarik garis linear terletak antara apa yang
dinamakan sebagai fused society untuk
masyarakat tradisional dan diffracted
society untuk masyarakat yang lebih maju. Istilah-istilah tersebut
dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta, khususnya ilmu fisika dengan
menggunakan sifat-sifat yang dimiliki suatu prisma terhadap cahaya. Model birokrasi
pada masyarakat yang prismatis disebutnya sebagai bureau atau “sala model” dan untuk masyarakat tradisional atau fused society model administrasinya disebut
“chamber”, sedangkan untuk masyarakat yang telah maju atau diffracted diberinya istilah “office”.
Riggs
membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Pembagian Masyarakat Menurut
Riggs (1985)
Masyarakat
Tradisional
|
Masyarakat
Modern
|
Masyarakat
Transisi
|
- Masyarakat agraria/diffused
- Nilai askripsi: mementingkan faktor
keturunan dan partikularis-me
(suku, agama,adat istiadat, dsb)
- Spesialisasi belum berkembang
- Feodal-absolut
|
-
Masyarakat
industri/diffracted
-
Nilai
prestasi/ achievement dan universalisme
-
Spesialisasi
tinggi
-
Sistem
politik demokratis
-
Birokrasi
rasional/Weber
|
-
Masyarakat
prismatik
-
Transisi
dari tradisional ke modern
-
Secara
formal modern tapi nilai tradisi tetap masih dominan
-
Formalism
|
Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang
Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi
tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat
tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan
kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia
hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan
lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan,
mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan
tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual.
Adapun masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan
antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas
masyarakat model ini bisa ditandai lewat organisasi. Masyarakat modern lebih
menampakkan sifat heterogen dan rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik
ada di ruang tengah antara masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat
modern (memencar). Pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan
memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar.
Rumusan ini diadopsi Riggs dari teori optik yang
mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma
tersebut sebagai pemantul cahaya, juga memantulkan dirinya sendiri sebagai
pelakunya. Masyarakat jenis prismatik biasanya tidak lagi mempertontonkan
perilaku secara dikotomis. Dalam kultur
masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan
pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas
menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia. Kondisi macam inilah yang membentuk
polynormativisme sebagai ciri khas masyarakat model prismatik.
Riggs
melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah
berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem
organisasinya belum berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut telah terpencar dan
organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi dan
berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di banyak negara
berkembang.
Menurut
Fred W. Riggs (1985) administrasi pembangunan berkaitan dengan proses
adminstrasi dari suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan
terutama oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang
telah direncanakan guna menemukan sasaran pembangunan (pembangunan admistrasi).
Administrasi pembangunan dikaitkan dengan implikasinya, sehingga apabila suatu
program pembangunan berhasil dilaksanakan, dengan sendirinya akan mendorong
perubahan-perubahan dalam berbagai bidang (administrasi pembangunan). Pengertian
pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai
proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Menurut Riggs (1966) ada
orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).
Administrasi
pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara-negara yang sedang membangun
untuk mengembangkan lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, dan
ekonominya, agar pembangunan dapat berhasil. Administrasi pembangunan
dikembangkan sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan antara administrasi
pemerintahan di negara maju dengan administrasi pemerintahan di negara
berkembang. Fred W. Riggs memandang bahwa administrasi negara untuk negara
berkembang mempunyai pola perilaku yang berbeda dengan negara maju, yang
menyangkut sistem, struktur, dan fungsi.
Administrasi
pembangunan adalah untuk negara berkembang, dan umumnya tidak diterapkan di negara
maju, meskipun administrasi Negara di negara maju juga secara aktif terlibat
dalam upaya memperbaiki diri dan kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian,
latar belakang perbedaan antara keduanya terletak pada dua aspek: (1) tingkat
perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan (2)
lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan sistem nilai serta penerapan
sasaran-sasaran pembangunan.
Perbandingan
dengan negara-negara lain dapat menghasilkan gagasan perbaikan. Meskipun lingkungannya
berbeda, namun dapat dilakukan penyesuaian sehingga timbul asas-asas universal
dari administrasi negara. Riggs mencatat setidaknya ada tiga kecenderungan
dalam administrasi pembangunan, yaitu:
- Pergeseran dari pendekatan normatif ke pendekatan empiris, yang sifatnya hanya memberikan norma saja atau hanya memberikan pedoman;
- Pergeseran dari pendekatan ideologis ke arah pendekatan nomotetis, yaitu pendekatan yang hanya menggambarkan atau meninjau semua yang berulang kali terjadi kemudian daripadanya ditarik dalil-dalil yang bersifat umum; dan
- Pergeseran dari semua pendekatan tersebut ke pendekatan ekologis, yang selalu memperhatikan faktor-faktor yang saling berpengaruh.
Maka
dilakukanlah studi banding (comparative
study) antara negara maju dan negara berkembang. Untuk itu para ahli
melakukan comparative studi yang
dipelopori Fred W. Riggs tahun 1957: Agraria and Industria yang disebut sebagai
CAG (Comparative Administration Group)
dengan tujuan:
- Mencari model dan konsep administrasi negara dan kelembagaan yang cocok untuk negara berkembang;
- Mengembangkan administrasi negara untuk pembangunan di negara berkembang.
Hasil
studi banding antara negara maju dan negara berkembang tersebut mengungkap
adanya perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam hal administrasi pemerintahan
atau kelembagaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
- Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme;
- Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilah bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal;
- Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang;
- Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanisme formal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market;
- Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Karakteristik
birokrasi negara berkembang menurut Fred W. Riggs adalah:
- Birokrasi terlibat jauh dalam pengambilan keputusan politik, jadi birokrasi tidak hanya terlibat dalam fungsi penerapan peraturan atau fungsi keluaran lainnya;
- Birokrasi menunjukan karakteristik prismatik, dimana menunjukan kecenderungan perilaku birokrasi yang umum dan dapat diperkirakan dengan terbuka;
- Birokrasi sangat berkaitan dengan apa yang disebut wewenang atau kekuasaan politik yang dominan pada rezim itu;
- Birokrasinya adalah multifungsionalis dari peranan birokrasinya. Mereka menunjukan kecenderungan nyata dari birokrat yang mempunyai kedudukan tinggi dengan sendirinya menjadi elit politik dalam masyarakat dan bahkan menjadikan dirinya menjadi akar bagi elit yang dominan.
Birokrasi
perlu mendapat perhatian dalam proses pembangunan, karena ia dapat menjadi
kekuatan yang baik, tetapi dapat juga menjadi penghambat bagi perubahan-perubahan
jika yang lebih menonjol adalah sikap ritualis. Di negara maju, peranan
pemerintah relatif kecil, karena lembaga-lembaga masyarakat telah berkembang maju.
Bahkan pemerintah yang kecil dan sedikit keterlibatannya lebih dikehendaki.
Sebaliknya, di negara berkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintah adalah
lembaga yang paling maju. Oleh karena itu, tanggung jawab pembangunan terutama
berada di pundak pemerintah (administrasi negara). Lembaga lain, seperti usaha
swasta, pada umumnya belum berkembang.
Dengan
demikian, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan
pembangunan menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak,
sistem pemerintahan di negara-negara berkembang pada awal kemerdekaanya,
umumnya mempunyai ciri -ciri sebagai berikut: Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang
sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan
bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua,
sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh
orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan
terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum
atau rutin, dan tidak berorientasi kepada pembangunan.
Sifat
masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan
birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat
transisi, yakni antara masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional
sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Menurut Fred W. Riggs,
masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama.
- Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern;
- Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita;
- Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Seorang
ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs,
1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi
diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian wewenang
dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan kerja, kelebihan
muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan bawahan mengambil
inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat;
legalisme dan formalisme; pelembagaan korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya
merupakan gejala memasyarakat dalam negara yang sedang berkembang tanpa dapat
membedakan dengan tegas berdasarkan sistem politik atau tradisi kebudayaannya.
Menurut
Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada
baiknya dipelajari gambaran wajah (features)
administrasi yang bersifat umum (common)
di negara berkembang. Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi yang
indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara
bersifat jiplakan (imitative) daripada
asli (indigenous). Negara-negara
berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung
meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya
mengikuti pola negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan
bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku
birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan
merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu
sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri.
Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi
kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya,
serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi
di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri
birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan
(deficient) sumber daya manusia
terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti
jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara
berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang
terlatih, dengan kapasitas manajemen (management
capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan
kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait
dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah. Heady
menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga berpendidikan
tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku
di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang
berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak
oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada
hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat
lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian
sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat
atas kemanfaatan pribadi (personal
expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir
nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi,
yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki
kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang,
korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat
prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi
institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara
apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality).
Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud
dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini
tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin
dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan,
memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian
kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang
tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang
memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap
kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan
masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah
secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut
setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling
terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi,
sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam
pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.
Para ahli administrasi dan manajemen
pembangunan khususnya untuk negara-negara dunia ketiga diantaranya Fred W. Riggs
(1985) berpendapat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan negara-negara
sedang berkembang adalah kelemahan pada faktor organisasi dan administrasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa memang di negara sedang berkembang khususnya di
Indonesia dengan ciri yang sangat pluralis dari seluruh aspeknya bahkan disebut
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah barang tentu menghadapi
persoalan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang sangat kompleks, apalagi
potensi dan sumberdaya pembangunan yang tersebar tidak merata diseluruh wilayah
nusantara, sementara konsentrasi jumlah penduduk yang terpusat di pulau jawa
merupakan tantangan administrasi negara sepanjang zaman dari rezim pemerintahan
dahulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Demokrasi
dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu
negara, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin
rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin
tinggi demokrasi. Gejala tumbuhnya birokrasi yang terlarnpau kuat diungkapkan
oleh Fred W. Riggs ketika ia rnelakukan penelitian modernisasi di Thailand yang
kemudian muncul dengan konsep "Bureaucratic
Polity" yang menggambarkan betapa birokrasi di negara berkembang telah
memasuki suatu jaringan kehidupan politik dan ekonomi yang sangat kuat yang
dilakukan oleh negara terhadap kehidupan masyarakat.
Studi
Fred W. Riggs tentang Bureaucratic Polity
nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi
sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber
legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Dalam studi Riggs birokrasi berkolaborasi
dengan kekuasaan pemerintah. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang
poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya
termasuk juga ideologi.
Dalam
konsep bureaucratic polity, Fred W. Riggs (1985) mencoba menjelaskan
bahwa birokrasi menjadi arena utama permainan politik yang dipertarukan
dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan
kepentingan publik. Sehingga birokrasi "encapsulated" dan
tidak tanggap terhadap kepentingan di luar dirinya atau terjadi
imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.
Birokrasi
menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam kaitannya dengan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Administrasi pemerintahan maupun pelayanan publik yang
birokratis seolah telah menjadi karakteristik yang melekat di berbagai negara berkembang.
Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan
di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi
lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan
tanda-tanda dilakukannya perbaikan.
Salah
satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan
antara kewenangan, hak, serta tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada
akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah
untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, berbagai upaya yang
serius dan tegas diperlukan untuk memperbaiki birokrasi negara ini. Upaya
tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari problematika
KKN yang kian pelik dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini
lembaga, dan pada hampir semua aktivitas.
1 comment
nice and perfect
Posting Komentar