Pengembangan Kelembagaan Bidang Pemerintahan
Pengembangan
kelembagaan sering dikenal juga sebagai pembinaan kelembagaan, yang
didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna
mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia.
Khasnya, pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen, termasuk
pemantauan dan evaluasi, perencanaan dan lain-lain (Israel, 1992). Menurut Arturo Israel, konsep umum mengenai lembaga meliputi apa yang ada pada
tingkat lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan, parastatus,
departemen-departemen di pemerintah maupun milik swasta.
Kelembagaan lebih dipandang sebagai suatu manajemen dan keterkaitan antara
sumber daya manusia, keuangan dan hubungan atau sistem kerja antara suatu lembaga
dengan lembaga lainnya. Hasil kegiatan-kegiatan dalam pengembangan kelembagaan
bersifat abstrak dan memerlukan waktu cukup lama sebelum mencapai hasil yang
diharapkan bahkan beberapa kelembagaan yang sudah ada cenderung melemah karena
berbagai sebab. Dari studi-studi evaluasi yang dilakukan, dikelompokkan
beberapa faktor yang dapat mengurangi keacakan kelompok sehingga dapat
memelihara kelembagaan, yaitu:
- Faktor eksogen
- Individu-individu atau kelompok-kelompok individu yang menonjol
- Perencanaan yang efektif dan pelaksanaan program pengembangan kelembagaan
- Aplikasi yang efektif mengenai teknik-teknik manajemen
- Harga-harga relatif yang memadai, dan
- Cukupnya komitmen politik.
Komitmen
terhadap perbaikan lembaga dengan atau tanpa bank merupakan resep utama untuk
kemajuan.
Persaingan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi
prestasi lembaga. Pada saat suatu lembaga berupaya untuk lebih menonjol,
memperoleh laba yang lebih besar atau penghargaan lebih maka hal ini akan
berpengaruh terhadap hubungannya dengan lembaga-lembaga lainnya yang saling
berkaitan dalam hubungan kelembagaan. Persaingan tidak selalu merupakan
hal yang negatif walaupun seringkali meningkatkan potensi konflik.
Persaingan dapat membawa hasil yang positif selama persaingan tersebut
digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan kinerja dan prestasi suatu
lembaga. Namun pendekatan umum yang dianjurkan untuk memperbaiki prestasi
lembaga adalah: kesadaran yang lebih besar terhadap isu-isu, penekanan pada sub sektor dan
kegiatan dengan kekhususan yang rendah serta strategi untuk meminimalkan
kebutuhan terhadap kapasitas lembaga.
Salah
satu kelemahan dalam administrasi di negara berkembang
adalah unsur kelembagaan, padahal pembangunan
memerlukan dukungan kelembagaan. Kelembagaan
yang tercipta di negara berkembang pada umumnya
adalah kelembagaan tradisional atau warisan penjajahan. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks, yang meliputi berbagai disiplin, sektor,
kepentingan, dan kegiatan, memerlukan
lembaga-lembaga yang mampu menampung,
menyalurkan, dan mengatasi, serta mensinergikan
berbagai aspek tersebut. Kelembagaan dalam hal
ini mengandung arti luas, yaitu dapat berupa
organisasi-organisasi formal seperti, antara lain birokrasi, dunia usaha, partai-partai politik, tetapi juga dapat
berupa lembaga ekonomi seperti pasar,
lembaga-lembaga hukum, dan sebagainya.
Menjadi
tugas menajemen pembangunan untuk membangun
dan mempersiapkan lembaga yang dibutuhkan agar
upaya pembangunan dapat berhasil mencapai
sasarannya. Pertama-tamanya tentunya lembaga
pemerintah perlu dikembangkan agar dapat berfungsi sebagai
alat pembangunan. Selain itu, juga harus dikembangkan
lembaga-lembaga sosial ekonomi dan sosial politik
masyarakat, agar pembangunan dapat berlangsung efisien
dan memperoleh partisipasi yang seluas-luasnya dari
masyarakat, dan dilakukan dengan derajat rasionalitas
yang tinggi.
Permasalahan
birokrasi di negara berkembang ingin diperbaiki melalui pengembangan
kelembagaan. Banyak konsep dikembangkan dalam pengembangan kelembagaan atau pembangunan
administrasi. Di antaranya, pengkajian paling awal dan banyak menjadi rujukan
para pakar administrasi pembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs juga. Menurut
Riggs (1985), pengembangan kelembagaan merupakan suatu pola yang menunjukkan
peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Birokrasi
itu sendiri, menurut penglihatan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang
konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang
bertindak secara formal sebagai alat (agent)
untuk suatu kesatuan (entity) atau
sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian, menurut pandangan ini, tujuan
dari birokrasi itu sendiri. Atas dasar itu, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam
menjalankan tugas mewujudkan tujuan sangat esensial sifatnya. Oleh karena itu, pengembangan
kelembagaan akan berkaitan erat dengan peningkatan kebertanggungjawaban dalam
proses pengambilan keputusan, atau dalam hal bagaimana sumber daya instrumental
dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs
(1985) melihat pengembangan kelembagaan dari dua sisi, yaitu perubahan
struktural dan kinerja (performance).
Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu
ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasikan
(role specialization) dan pembagian pekerjaan
(division of labor) yang makin tajam
dan intens dalam masyarkaat modern. Secara khusus Riggs menganalisis
diferensiasi politik dan administrasi dalam proses pengambilan keputusan yang
dipandangnya sebagai indikator perkembangan ke arah modernisasi. Dalam konteks
ini, ia melihat berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai
politik dan organisasi-organisasi masyarakat, lembaga-lembaga perwakilan,
lembaga-lembaga peradilan khusus, sebagai ciri penting dalam proses pengembangan
kelembagaan.
Mengenai
kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau
suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja yang lain
atau organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja
perorangan (personal performance) dengan
kinerja bersama (social performance).
Riggs juga membedakan antara hasil (accomplishment)
dengan upaya yang dilakukan (endeavour).
Dalam pengembangan kelembagaan, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukan
semata-mata hasil. Contohnya petugas pajak yang menarik pajak dan kelompok
orang-orang kaya dengan mudah akan memperoleh hasil lebih besar dibandingkan
dengan petugas yang bertanggungjawab menarik pajak dari lapisan yang rendah
pendapatannya. Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah efektivitas dan
efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan seberapa jauh sasaran telah tercapai,
dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding usaha, biaya,
atau pengorganan yang harus dikeluarkan.
Disamping itu studi yang dilakukan
oleh Gormley dan Balla (2003) menunjukkan bahwa kinerja pemerintah sangat
dipengaruhi oleh faktor tugas pekerjaan, dukungan politik, dan kepemimpinan.
Dalam kaitannya dengan tugas pekerjaan, diketemukan bahwa lembaga yang memiliki
tugas utama mendistribusikan uang kepada penduduk, cenderung dinilai berkinerja
baik, sedangkan yang bertugas mengumpulkan uang, cenderung dinilai berkinerja
buruk.
Diketemukan juga bahwa lembaga yang
memiliki misi yang tidak jelas (ambiguous)
atau mengandung konflik, cenderung berkinerja buruk. Sementara yang memiliki output dan outcome yang dapat diamati, cenderung berkinerja baik. Dalam
hubungannya dengan dukungan politik, kedua ahli itu menemukan bahwa lembaga
yang ditekan oleh konstituen yang beraneka ragam, cenderung berkinerja baik,
juga lembaga yang program, dan kebijakannya memberikan dukungan yang luas,
cenderung berkinerja baik.
Lembaga pemerintah yang memberikan kontrol
yang bersifat koersif cenderung lebih buruk kinerjanya daripada yang memiliki kontrol
yang bersifat katalik. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, dikatakan bahwa
lembaga yang memiliki pemimpin dengan keahlian dan pengalaman yang memadai,
cenderung berkinerja baik. Lembaga dengan pemimpin yang berkomitmen tinggi,
cenderung berkinerja baik, demikian pula lembaga dengan pemimpin menarik
perhatian publik cenderung memiliki kinerja baik. Kinerja tidak dapat
dilepaskan dari faktor leadership karena ia melekat pada kapasitas menajemen.
Riggs
kemudian mempelajari lebih lanjut hubungan antara tingkat diferensiasi dan
tingkat kinerja dalam konteks paradigma prismatic
society-nya. Dengan teori-teorinya itu, sistem yang maju atau diffracted adalah yang skala
diferensiasi dan kinerjanya tinggi, sedangkan sistem yang agak terdiferensiasi
dan kinerjanya rendah adalah prismatic,
yaitu birokrasi umumnya di negara berkembang. Pengembangan kelembagaan
memerlukan sikap mendasar dan birokrasi. Patologi birokrasi di berbagai negara
berkembang menunjukan adanya kecendrungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving),
mempertahankan status-quo resisten terhadap perubahan, cendrung terpusat
(centralised), dan dengan kewenangannya yang besar sering kali
memanfaatkan kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Oleh karena itu,
seperti dikemukakan di atas penyempurnaan aparatur negara acap kali menjadi program
pembangunan di banyak negara yang sedang membangun.
Dari
berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pengembangan
kelembagaan di bidang pemerintahan. Penyebabnya dalah pendekatan yang sering
kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan
fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tatapi lebih sulit dilakukan, adalah
pengembangan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat.
Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut, introjection, merupakan
kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi
perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan
masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai
berikut:
Pertama, birokrasi
harus membangun partisipasi rakyat. Pengalaman banyak negara menunjukan bahwa untuk
berhasilnya pembangunan, partisipasi rakyat amat diperlukan. Partisipasi rakyat
pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila
diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local
comunities). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan
sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta
di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi
dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat
yang maju dan mandiri.
Kedua, birokrasi
hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang
lemah dan kurang berdaya (the under privileged). Sikap pemilihakan ini
hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi
oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi
karena birokrasi banyak negara berkembang (terutama di lapisan atas yang justru
menentukan) umumnya merupakan kelompok elite suatu bangsa, yang tidak selalu
tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat miskin
dan terbelakang.
Ketiga, peran
birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan dan dari memberi
menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat
mendasar, dan untuk negara di mana hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat
paternal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang
cukup hakiki.
Keempat, mengembangkan
keterbukaan (transparancy) dan kebertanggunjawaban (accountability).
Yang acap kali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang
harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat
ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pengembangan kelembagaan dan tidak
mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa
keengganan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk
menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan
sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan
birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalu saling silang gagasan (cross
fertilization).
Keberadaan akuntabilitas sebagai
suatu sistem dan suatu istilah dalam teori dan praktek adminitrasi sudah cukup
lama dan sering digunakan tetapi sebagai suatu konsep masih membutuhkan
penjelasan lebih lanjut.
Gormley dan Balla (2003:10)
menyatakan:
Accountability in the public sector
should be based on the idea that public administrators can and should serve
citizens in the public interest, even in situations involving complicated value
judgments and overlapping norms. (Akuntabilitas di sektor publik harus
didasarkan pada gagasan bahwa administrator
publik dapat dan harus melayani
warga untuk kepentingan umum, bahkan dalam situasi yang melibatkan pertimbangan nilai
rumit dan norma-norma yang tumpang tindih)
Gormley
and Balla (2003, 11) melihat akuntabilitas dalam sektor publik pada empat aspek
berdasarkan sumber kontrol yaitu akuntabilitas birokratik, akuntabilitas formal
atau legal, akuntabilitas professional, dan akuntabilitas politik seperti pada tipologi
akuntabilitas publik berikut:
- Akuntabilitas birokratik yaitu jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari interen organisasi. Akuntabilitas birokratik ditentukan/diadakan secara formal melalui hirarki dalam organisasi khususnya organisasi birokratik.
- Akuntabilitas profesional, jika tingkat pengawasannya rendah dan berasal dari internal organisasi. Akuntabilitas professional ditentukan/diadakan secara informal oleh anggota organisasi itu sendiri melalui melalui keahlian dan standar (yang mungkin dikembangkan oleh organisasi professional atau pendidikan dan pelatihan).
- Akuntabilitas legal, jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari luar organisasi. Akuntabilitas legal ditentukan/diadakan secara formal oleh hukum atau peraturan yang diciptakan oleh legislative, pengadilan atau lembaga peradilan seperti kejaksaan atau komisi pelayanan masyarakat.
- Akuntabilitas politik, jika sumber pengawasannya dari luar dan berada pada tingkat yang rendah. Akuntabilitas Politik tersebut ditentukan/diadakan secara informal oleh berbagai stakeholders dalam lingkungan akuntabilitas, bekerja baik secara langsung maupun melalui pejabat yang dipilih (elected officials).
Berkatian
dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability), yang
oleh Riggs (1996) ditekankan sebagai hakikat dari upaya pengembangan
kelembagaan. Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai
pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri,
melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tidaktanduknya harus
selalu dapat diawasi dan dipertanggunjawabkan. Pertanggungjawaban itu dalam konsep
birokrasi yang lama bersifat hirakis dari bawah ke atas di dalam struktur
organisasi. Dalam kehidupan masyarakat yang makin canggih dan terbuka, masyarakat
menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan publik dituntut
agar transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menguntungkan rakyat
banyak. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya
mendasar. Pengembangan kelebagaan yang demikian akan menghasilkan birokrasi
yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan
peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan,
dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan harus juga
meliputi etika birokrasi.
Aspek
akuntabilitas dan transparansi menjadi harga mati dalam pengembangan
kelembagaan pemerintahan. Akuntabilitas dan transparansi tidak hanya
menyodorkan takaran harga kinerja lembaga pemerintah tetapi juga menjadi cermin
tingkat independensinya. Independensi (kemandirian) lembaga memiliki modal utama berupa
kejelasan
identitas lembaga yang bersangkutan beserta tujuan dan tugas-tugas
strategis
yang harus dikerjakan sehingga suatu lembaga tersebut
memiliki
sejumlah koridor sebagai bahan kontrol dan antisipasi dari segenap potensi
penyimpangan.
Kejelasan tujuan dan tugas strategis juga mempermudah dirinya dalam
menyusun
prioritas kerja secara mandiri. Jadi, independensi amat berkenaan dengan
kemampuannya
untuk menjalankan tugasnya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya
(self-sufficiency) secara mandiri tanpa
memiliki ketergantungan yang sangat kepada pihak lain. Independensi
juga berkenaan dengan kemampuan pengambilan keputusan,
terutama
dalam pencanangan tujuan kemudian mengarahkan semua potensi yang
dimilikinya
dalam wujud tindakan untuk mencapai tujuan-tujuannya tersebut.
Suatu
lembaga pemerintahan/birokrasi berupaya membuktikan diri mereka telah bersikap
netral dan bertindak independen, apa yang dilakukan sebenarnya tidak lebih dari
sebuah hubungan antarorganisasi (interorganizational
network) dengan lembaga lain, seperti unit lain dalam pemerintahan,
organisasi nirlaba, dan organisasi profit-oriented.
Hubungan
seperti itu rentan mereduksi tingkat independensi lembaga pemerintahan, kecuali
tiga persyaratan kunci berikut terpenuhi menurut Gormley dan Balla (2003:145), yaitu
Pertama, setiap organisasi yang
saling berhubungan memiliki pembagian tugas dan kerangka kerja yang jelas
sehingga mereka hanya bertindak dan bersikap menurut batasan koridor
pekerjaannya itu. Kedua, interaksi di
antara organisasi tersebut harus memiliki sumber daya yang berbeda secara
politik dan ekonomi. Ketiga, hubungan
antarorganisasi memenuhi format hubungan yang setara dan berimbang, tidak
membentuk hubungan hirarkis dengan dikotomi atas-bawah atau relasi
superior-inferior. Konsensus menjadi hal utama yang menjadikan tiga persyaratan
kunci tadi berjalan sehingga menghasilkan independensi dan akuntabilitas
sekaligus.
Pembangunan
administrasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan mengikuti pola yang dikembangkan
di negara maju, baik sistem yang diterapkan di negara berkembang melalui
berbagai bentuk bantuan teknik yang biasanya berada di bawah judul “pengembangan
kelembagaaan” (institution building). Banyak program pembangunan
kelembagaan birokrasi di negara berkembang dibantu dengan para ahli, beasiswa, dan
pembiayaan oleh negara-negara maju, lembaga-lembaga internasional seperti
badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia, serta organisasi-organisasi
swasta seperti Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Dengan berbagai
program tersebut dan melalui literatur dan studi-studi perbandingan,
negara-negara berkembang mengadopsi prinsip-prinsip administrasi modern dan
menerapkan ke dalam sistemnya. Yang terjadi adalah suatu bybird dari
sistem yang diadopsi dan luar dan kebiasaan lama yang masih tidak mudah
dilepaskan.
Sejak
awal telah dijelaskan oleh pakar, bahwa tantangan utama pembangunan lebih
bersifat administratif daripada ekonomi, dan bukan pula kekurangan sumber daya
alam. Oleh karena itu, pembangunan atau pengembangan kelembagaan menjadi bagian
penting dalam program pembangunan di hampir semua negara berkembang. Dengan
asumsi bahwa birokrasi harus berperan aktif mengisi ke vacum-an karena
kekuatan-kekuatan pembangunan lain dalam masyarakat tidak ada atau belum berkembang,
maka birokrasi di negara berkembang tumbuh cepat. Pertumbuhan itu lebih dalam
arti fisik dibanding kualitas. Artinya, organisasi berperan besar dalam penetapan
tujuan (objectives setting), pengendalian, pengaturan, pemeliharaan
stabilitas, dan segala kegiatan lain yang berkenaan dengan segenap aspek
kehidupan masyarakat.
Sementara
itu, menjelang dasawarsa 90-an, sistem komunisme yang menerapkan dominasi
negara secara sangat ekstrim, runtuh. Bersamaan dengan itu dunia bergerak
menuju zaman baru, yaitu era keterbukaan global atau globalisasi yang dilandasi
oleh arus liberalisasi perdagangan. Dalam kondisi demikian, untuk dapat selamat
(surview), daya saing harus ditingkatkan. Untuk itu, efisieni harus
ditingkatkan dan proteksi ekonomi yang menandai perekonomian dunia, khususnya
ekonomi Negara berkembang pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, harus ditiadakan.
Pengalaman
empiris negara-negara industri baru juga menunjukan bahwa strategi melepaskan
dominasi negara atas ekonomi dan mengikuti prinsip-prinsip pasar dengan ekspor
sebagai pacuan telah membuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkat
pertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu,
berkembang arus de-eatisme, yang dikenal dengan sebutan deregulasi dan
debirokratisasi. Dalam hal ini peranan pemerintah dalam pengaturan dan
keterlibatan langsung dipangkas menjadi seminimal mungkin atau hanya sepanjang
yang diperlukan. Upaya ini merupakan bagian dari penyerasian struktural (structural
adjusment), yang meliputi pelepasan usaha-usaha negara kepada masyarakat,
pelapasan mekanisme pengendalian harga-harga, peniadaan aturan-aturan yang
menghambat kegiatan
dunia
usaha, dan pengurangan peran pemerintah secara langsung dalam ekonomi dan
kehidupan masyarakat pada umumnya.
1 comment
maaf bisa minta sumber pustakanya ngak min.
terima kasih sebelumnya
Posting Komentar