A. Kedudukan MRP dalam Struktur
Pemerintah Daerah Provinsi Papua
Pilar utama dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah di Provinsi Papua terdiri atas tiga komponen, yakni DPRP, Pemerintah
Daerah (Gubernur beserta perangkat lainnya), dan MRP.
Dalam konteks ini, DPRP diposisikan sebagai badan
legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, dan MRP sebagai badan
representase kultural orang asli Papua. Sebagai badan legislatif DPRP
berwenang dalam melaksanakan fungsi
dibidang legislatif, yang mencakup: (1) legislasi; (2) budgeting (penganggaran); (3) pengawasan. Pemerintah Provinsi
sebagai badan eksekutif berwenang dalam melaksanakan fungsi pemberian pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat, serta pelaksanaan pembangunan. Di samping itu
sebagai wakil Pemerintah Pusat, Gubernur juga memiliki kewenangan melaksanakan
fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Papua. Sedangkan MRP yang
merupakan representasi kultural orang asli Papua memiliki kewenangan
melaksanakan fungsi tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli
Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,
pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Uraian di atas memberi gambaran bahwa sebagai pilar
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, ketiga lembaga ini memiliki
kewenangan dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Fungsi masing-masing
lembaga tersebut memiliki korelasi tetapi tidak tumpang tindih (overlapping),
bahkan merupakan satu kesatuan sinergis, yang diharapkan dapat lebih
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara
berkeadilan dan bermartabat, dengan partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya. Pola
dan mekanisme hubungan sinergis dengan tugas dan wewenang berbeda dalam rangka
implementasi UU Otsus oleh ketiga lembaga ini, yaitu: Pemerintah Provinsi, DPRP
dan MRP.
MRP merupakan lembaga representasi kultural orang
asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak
orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan
budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Ini berarti
bahwa MRP memiliki kewenangan yang terbatas. MRP beranggotakan orang-orang asli
Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil
perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Masa
keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP
sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Perdasus.
Untuk menunjang pelaksanaan tugas MRP, dibentuk
Sekretariat MRP. Sekretariat MRP dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertugas
membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya. Sekretaris MRP diangkat
dari PNS yang memenuhi syarat oleh Gubernur. Sekretariat MRP secara operasional
berada di bawah pimpinan MRP dan secara teknis administrasi berada di bawah
Sekretaris Daerah Provinsi. Kedudukan, susunan organisasi dan tata kerja serta
keuangan Sekretariat MRP diatur dalam Perdasi. Berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat MRP
disebutkan bahwa Sekretariat MRP mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan
administrasi kepada Pimpinan dan Anggota MRP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU Otsus Pemerintahan
Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan
Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, serta MRP sebagai lembaga
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan
hidup beragama yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di
Provinsi Papua. Pembentukan MRP dilatarbelakangi oleh beberapa alasan:
- Hak-hak
politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung terabaikan;
- Representasi
politik orang asli Papua dan kaum perempuan di lembaga-lembaga
- Politik
(parpol/legislatif) tidak cukup signifikan dan cenderung tidak terakomodasi;
- Aspirasi
politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung tidak terakomodir;
- Tingkat
partisipasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan tergolong relatif
rendah.
- Komitmen
untuk menghormati adat dan budaya, memberdayakan kaum perempuan, dan
memantapkan kerukunan hidup beragama;
- Komitmen
untuk melakukan rekonsiliasi antara sesama orang asli Papua maupun orang asli
Papua dengan penduduk Provinsi Papua. Hak-hak politik orang asli Papua di
provinsi Papua belum terlindungi secara memadai.
Kondisi ini berimplikasi terhadap akomodasi aspirasi
atau kepentingan orang asli Papua. Merespon kondisi ini, maka Undang-Undang
No.21 tahun 2001 secara khusus memberi jaminan perlindungan terhadap hak-hak
orang asli Papua. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang jumlahnya 2/3
dari jumlah anggota DPRP. Mengingat bahwa jumlah anggota DPRP adalah 56 (lima
puluh enam) orang, maka jumlah anggota MRP adalah 42 (empat puluh dua) orang. Keanggotaan
MRP terdiri atas, wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil
perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
Sebagai lembaga representasi kultural orang asli
Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, maka MRP memiliki
tugas dan wewenang tertentu. Tugas dan wewenang MRP sebagaimana diatur dalam UU
Otsus, Pasal 20, ayat (1) adalah:
- memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur
yang diusulkan oleh DPRP;
- memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh
DPRP;
- memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh
DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
- memberikan
saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang
dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang
berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang
asli Papua;
- memperhatikan
dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum
perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua,
serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan
- memberikan
pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota serta Bupati/ Walikota
mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud diatur dengan perdasus.
B. Permasalahan
MRP dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
1. Kebijakan
Pemerintah Pusat Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tentang MRP
Pada tanggal 23 Desember 2004 di Jakarta Presiden
Republik mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah menjadi Peraturan
Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua (PP MRP) dan diundangkan melalui
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 165, dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 446. Diundangkannya Peraturan Pemerintah
tentang MRP tersebut adalah dalam rangka menjalankan amanat UU Otsus Pasal 72
ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa: (1) “Gubernur dan DPRP untuk pertama
kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota
MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan
Pemerintah; (2) selanjutnya Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
usulan diterima.
Dalam kenyataannya sejak diusulkan oleh Gubernur dan
DPRP pada tanggal 15 Juli 2002, Peraturan Pemerintah tersebut baru ditetapkan
setelah ± 2 (dua) tahun mengendap di pihak Pemerintah tanpa ada alasan yang
jelas. Padahal merespon penyerahan usulan pihak Pemerintahan Daerah mengenai
syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP, pihak
Pemerintah maupun Pemerintahan Daerah telah membentuk tim yang ditugasi untuk
membahas substansi materi Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut. Ke-2 (kedua)
tim juga telah melakukan pembahasan bersama beberapa kali dan sudah ditemukan
adanya kesamaan persepsi diantara ke-2 (kedua) tim sebagaimana dimaksud. Akan
tetapi hasil pembahasan ke-2 (kedua) tim tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti
oleh pejabat yang berwenang. Akhirnya Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut
tidak kunjung ditetapkan.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari
Megawati Soekarno Putri kepada Susilo Bambang Yudoyono, pada oktober 2004, maka
Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia, memasukan
penyelesaian Peraturan Pemerintah tentang MRP sebagai salah satu dari agenda
prioritas 100 (seratus) hari kerja pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu.
Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia,
terbukti ketika pada tanggal 23 desember 2004, Peraturan Pemerintah No. 54
Tahun 2004 tentang MRP ditetapkan, dan secara resmi diserahkan kepada pemerintahan
dan masyarakat di Papua pada tanggal 26 desember 2004 bersamaan dengan perayaan
Natal Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan masyarakat di Jayapura.
Sebagai akibat dari keterlambatan Pemerintah
Menetapkan Peraturan Pemerintah tentang MRP, sebagai salah satu institusi
penting dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, maka tentunya hal ini
telah pula berdampak terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Hal ini
didasarkan pada alasan bahwa berapa dimensi dalam proses politik dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua sebagai
pengajawantahan dari kebijakan otonomi khusus tidak dapat berlangsung
sebagaimana mestinya. Peraturan daerah khusus sebagai instrumen hukum daerah
tidak dapat dibuat, karena berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku,
proses perumusannya harus melibatkan MRP.
MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan
terhadap Raperdasus, yang diajukan oleh DPRP. Selain itu komitmen Pemerintah
pada semua tingkatan dengan masyarakat di Papua untuk memberi perlindungan
terhadap hak-hak orang asli Papua, juga menjadi sumir jika Majelis Rakyat Papua
belum terbentuk. Hal ini disebabkan karena MRP adalah lembaga representasi
kultural orang asli Papua yang diberi wewenang tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli papua.
Oleh karena itu maka jelaslah bahwa keterlambatan
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang MRP tentunya berimplikasi
terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Ketiadaan Majelis Rakyat Papua (MRP)
berarti beberapa komitmen yang tersurat dan tersirat dalam UU Otsus, sebagai
landasan hukum pemberlakuan kebijakan otonomi khusus papua tidak dapat
teraktualisasi secara optimal.
Meskipun PP MRP sudah
dikeluarkan, akan tetapi materi muatannya belum dipahami secara benar. Di dalam
PP MRP, materi muatannya sudah memuat 6 (enam) aspek dari 7 (tujuh) aspek yang
diamanatkan dalam UU Otsus. Berdasarkan hasil identifikasi 6 (enam) aspek yang
membutuhkan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah, sudah termuat dalam PP
Nomor 54 Tahun 2005 tentang MRP. Hasil identifikasi tersebut dapat dilihat pada
table 3.1 di bawah ini:
Tabel
3.1 Identifikasi Aspek-Aspek dalam UU Otsus yang sudah termuat dalam PP MRP
No
|
Materi Muatan
UU Otpus
|
Materi Muatan
PP MRP
|
1
|
Pasal 19 ayat
(4) tentang Kedudukan
Keuangan
MRP
|
Bab
XIII, Pasal 57 s.d. 68
|
2
|
Pasal 21 ayat
(1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan
Hak MRP
|
Bab
X, Pasal 42 s.d. 45
|
3
|
Pasal 22 ayat
(1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan
Hak Anggota
|
Bab
X, Pasal 46 s.d. 49
|
4
|
Pasal 23 ayat
(1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan
Kewajiban MRP
|
Bab
X, Pasal 5
|
5
|
Pasal 24 ayat
(1) dan ayat (2) tentang
Tata
Cara Pemilihan Anggota MRP
|
Bab
III, Pasal 5 s.d. 18
|
6
|
Pasal 25 ayat
(1), (2) dan (3) tentang
Pengesahan dan
Pelantikan Anggota
MRP
|
Bab
V, Pasal 17 s.d. 18
|
Sedangkan satu Pasal lagi yang memerlukan Peraturan
Pemerintah lagi adalah Pasal 18 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Pelaksanaan Kewenangan Khusus. Dengan demikian adanya pendapat oleh Pemerintah
Pusat maupun beberapa kalangan di Daerah, bahwa UU Otsus tidak berjalan karena
belum terpenuhinya 7 (tujuh) PP lagi adalah pemahaman yang keliru.
2.
Pelaksanaan Tugas dan Kewenagangan
MRP
Kontroversial sejumlah keputusan MRP sebagai lembaga
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak‐hak
orang asli Papua, telah pula menambah daftar problem dalam implementasi Otsus
Papua. Sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua dalam rangka
perlindungan hak‐hak
orang asli Papua, maka MRP memiliki tugas dan wewenang tertentu. Setelah Peraturan
Pemerintah (PP) tentang MRP di tetapkan, maka Pemerintah Daerah mulai melakukan
langkah‐langkah dalam
mempersiapkan proses rekrutmen anggota MRP.
Pembentukan MRP membutuhkan waktu lebih dari empat
tahun sejak diberlakukannya UU Otsus. Pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pelaksana
(PP) Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, 23 Desember 2004. Padahal usulan mengenai
syarat dan jumlah serta tata cara pemilihan anggota MRP telah diusulkan
Gubernur dan DPRP kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan
Pemerintah (PP), sejak tanggal 14 Juli 2002. Jika Pemerintah konsisten berdasarkan
ketentuan pasal (2) UU Otsus, maka seharusnya Pemerintah menyelesaikan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah usulan diterima.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber antara
lain mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno (lihat Kompas, 16 Januari
2003), maka dapat disebutkan bahwa, setidaknya ada tiga alasan mengapa
dibutuhkan waktu cukup lama bagi penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) sebagai
landasan teknis operasional bagi MRP, yaitu:
- Ada
kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintah, bahwa MRP akan menjadi lembaga
berkuasa penuh (superbody) dan bakal mengganggu proses politik dan penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi Papua, sehingga aturan mainnya perlu dibuat dengan
lebih hati-hati;
- Sosialisasi
otonomi khusus dan pemahaman tentang MRP belum berlangsung secara
berkesinambungan serta lebih intensif dan menyeluruh. Perlu ada persepsi dan
pemahaman yang utuh bahwasanya otonomi khusus bukan tujuan akhir melainkan
proses menuju kesejahteraan rakyat Papua.
- Indonesia
belum berpengalaman dalam membentuk lembaga seperti MRP. Di sisi lain persoalan
di Papua sendiri cukup “kompleks”, misalnya, jumlah suku bangsa sangat banyak.
Kesulitannya menyangkut suku mana yang diberi kesempatan duduk di majelis ini,
bagaimana kriterianya? Masing-masing suku bangsa tentu akan melakukan segala
daya dan upaya untuk memperjuangkan wakilnya menjadi anggota MRP.
Setelah Peraturan Pemerintah (PP) tentang MRP
ditetapkan, maka Pemerintah Daerah mulai melakukan langkah-langkah dalam
mempersiapkan proses rekrutmen anggota MRP, yang ditandai dengan pembentukan
Panitia Pemilihan Anggota MRP, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan
distrik. Panitia Pemilihan Anggota MRP sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
mulai melakukan tahapan pemilihan, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan
pelaporan.
Proses rekrutmen anggota MRP yang dilakukan oleh
Panitia Pemilihan pada beberapa tahapan, berlangsung tidak sesuai dengan
prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54
Tahun 2004 Tentang MRP dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) No. 4 tahun
2005, tentang Tata cara pemilihan Anggota MRP. Proses musyawarah di tingkat kampung
pada umumnya tidak dilakukan, padahal tahapan tersebut merupakan proses awal
yang sangat menentukan. Proses di tingkat distrik pada beberapa daerah
pemilihan juga berlangsung tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang
seharusnya. Berbagai fakta sebagaimana tersebut, tentunya dapat dijadikan
sebagai pembenaran (jastification) atas penilaian bahwasanya proses
pemilihan anggota MRP tahun 2005 pada beberapa tahapan tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Penyebab terjadinya hal sebagaimana di sebutkan diatas
disebabkan karena beberapa hal, antara lain:
- Keterbatasan
waktu untuk melakukan proses pemilihan, mulai dari pencalonan sampai dengan
peresmian. Ada target yang di buat oleh pemerintah provinsi, bahwa anggota mrp
sudah harus dilantik sebelum proses pemilihan kepala daerah langsung (gubernur
dan wakil gubernur), yang dimulai pada juni 2005;
- Kondisi
geografis daerah provinsi papua dengan topografi yang bervariasi, yang
menyebabkan adanya kendala transportasi dan komunikasi;
- Belum
tersosialisasinya pemilihan anggota mrp secara menyeluruh dan merata, kesemua
masyarakat di kampung-kampung, akibatnya masih banyak pihak yang tidak memahami
tentang mrp termasuk prosedur dan mekanisme rekrutmen anggotanya. Kondisi ini
tentunya berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban setiap individu
dalam proses pemilihan dimaksud.
Proses pemilihan anggota MRP, dengan berbagai
kekurangan sebagaimana tersebut, akhirnya menghasilkan 42 (empat puluh dua)
orang calon anggota terpilih. Calon anggota terpilih sebagaimana dimaksud
disahkan pengangkatannya sebagai anggota MRP berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor: 220-982 Tahun 2005, tanggal 29 Oktober 2005.
Dalam perkembangannya berselang 1 (satu) bulan
setelah pengambilan sumpah/janji (Oktober 2005), MRP dituntut untuk
melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam hal memberi pertimbangan dan
persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Implementasinya
MRP tanpa mempertimbangkan faktor prosedur dan mekanisme dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, yang seharusnya diatur dalam sebuah Perdasus.
MRP berdasarkan Surat keputusan No. 06/MPR/2005
tentang Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan Bakal Calon Gubernur dan Bakal Calon
Wakil Gubernur Provinsi Papua Masa Jabatan 2005-2010, telah member pertimbangan
dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan
oleh DPRP. Karena tidak didasarkan pada suatu mekanisme yang baku berdasarkan
Perdasus, maka dalam menilai bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur orang asli
Papua atau bukan, dilakukan dengan cara voting. Hal ini tentunya menjadi
catatan kelabu bagi demokrasi di Papua, sekaligus bagi keberadaan MRP, karena
suatu hal yang sangat riskan jika keturunan seseorang ditentukan atas pilihan
orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adat yang memiliki hak
kologial, serta dilakukan berdasarkan suara terbanyak (voting).
Setelah memasuki tahun ketiga sejak diresmikan tahun
2005, MRP, nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung
melakukan hal-hal di luar tugas dan wewenangnya, yang bermuara pada kontra
produktif. MRP, misalnya membuat Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus)
tentang Lambang-lambang Daerah. Padahal kewenangan membuat Raperdasus ada di
tangan DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Sedangkan MRP hanya berwenang memberi
pertimbangan dan persetujuan. Di sisi lain dalam Raperdasus tersebut MRP
menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang daerah Provinsi Papua, dan
lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu Daerah Provinsi Papua. Raperdasus ini
sangat kontroversial, dan sempat menimbulkan ketegangan antara “Jakarta” dan
“Papua”, karena bendera dan lagu tersebut dianggap sebagai bendera dan lagu
yang sama dengan bendera dan lagu yang digunakan oleh kelompok “separatis”. Hal
ini akhirnya mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77
tahun 2007 tentang Lambang-lambang Daerah, yang melarang penggunaan lambing-lambang
yang sama dan serupa dengan lambang-lambang yang digunakan kelompok-kelompok
“separatis”.
Salah satu penyebab MRP belum berfungsi atau
melakukan hal-hal di luar kewenangannya adalah karena sampai saat ini belum ada
Perdasus yang mengatur tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP, sebagaimana diamanatkan
dalam UU Otsus, Pasal 20 ayat (2). Selain itu sejumlah perdasus yang urgen dan
mendesak terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua belum ada satupun
yang dibuat dan diberlakukan. Padahal perdasus merupakan instrumen hukum bagi
MRP untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kondisi ini diikuti pula dengan
keterbatasan kualitas keanggotaan (rata-rata anggota berpendidikan setingkat
sekolah menengah umum/kejuruan). Bahkan sebagian besar anggota MRP memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang sangat terbatas tentang substansi kebijakan otonomi
khusus Papua.
3.
Kondisi Anggota MRP
Pemberlakuan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi
Papua, menuntut adanya penyesuaian berbagai unsur pemerintahan daerah, sebagai
prasyarat guna mewujud-nyatakan kewenangan yang dimiliki dalam mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri menuju demokratisasi dan good governance.
Utomo (2007: 78), menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi
daerah perlu diperhatikan adanya 4 (empat) isu strategis, yaitu: (1)
pengembangan kelembagaan; (2) pengembangan sumberdaya manusia aparatur; (3)
pengembangan jaringan kerja (net work); dan (4) pengembangan lingkungan
yang kondusif. Pandangan ini mempertegas bawasanya aparatur pemerintahan daerah
merupakan salah satu unsur penting dalam menggerakan sumberdaya lain yang
dimiliki pemerintah daerah.
Seiring dengan perubahan fungsi pemerintah, yakni
sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan, dan
administrator kemasyarakatan menjadi melayani, membangun dan memberdayakan,
masyarakat, maka performance aparatur pemerintahan juga seharusnya
mengalami perubahan, apalagi dalam kerangka otonomi khusus. Perubahan struktur
dan kewenangan pemerintahan dalam otonomi khusus menjadi tidak berarti kalau
tidak didukung oleh performance aparatur pemerintahan yang handal.
Aparatur pemerintahan yang dimaksudkan dalam konteks
ini tidak secara mikro dan statis, yakni terbatas pada jajaran pemerintah
daerah atau perangkat daerah, tetapi bersifat makro, termasuk pihak MRP.
Untuk memotret kondisi aparatur pemerintahan di
Provinsi Papua, maka setidaknya dapat digunakan indikator, tingkat pendidikan
dan pangkat/golongan. MRP memiliki kedudukan yang strategis dalam otonomi
khusus Papua. Sebagai lembaga representasi kultural Majelis Rakyat Papua oleh
UU Otsus diberi kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang
asli Papua. Dalam konteks ini maka keanggotaan MRP seharusnya memiliki
kualifikasi tertentu, baik secara formal maupun moral. Keanggotaan MRP
berjumlah 42 orang yang masing-masing unsur (adat, agama dan perempuan)
berjumlah 14 orang. Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator
untuk memotret kualifikasi anggota MRP adalah pendidikan formal. Berdasarkan
data yang ada terlihat bahwa sebagian anggota MRP adalah berpendidikan
setingkat sekolah menengah (SLTP dan SLTA) sebanyak 21 orang (50,00 %). 17
orang (40,47 %) berpendidikan sarjana dan hanya 4 orang (9,52 %) berpendidikan
pascasarjana.
Kondisi faktual aparatur pemerintahan yang terbatas
sebagaimana yang telah dinampakan tentunya memiliki implikasi yang signifikan
terhadap pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diemban. Kualitas
sumberdaya aparatur yang kurang memadai, telah membuat aparatur tidak memiliki
kreativitas untuk menciptakan atau melakukan hal yang bersifat inovatif.
Aparatur cenderung hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan rutinitas karena
ketidakmampuan membuat terobosan baru. Kondisi ini diperparah lagi ketika
banyak aparat pemerintahan yang cenderung bekerja untuk melayani diri sendiri
atau melayani penguasa. Sikap ini telah menjadi semacam dogma yang
terus-menerus mempengaruhi image para aparat maupun masyarakat dan berpengaruh
secara signifikan dalam pembentukan perilaku para aparat.
Sistem, proses, dan prosedur yang berorientasi legalistic
dengan pendekatan hirarkikal telah membentuk pola pikir, pola sikap,
dan pola tindak aparat berorientasi pada aturan dan arahan pimpinan, hal ini
tentunya mengkebiri kreativitas dan inovasi para aparat tersebut. Akibat ikutan
dari pendekatan ini maka jabatan struktural dipandang memiliki kelebihan
ketimbang jabatan fungsional. Kondisi ini telah menimbulkan persaingan yang
tidak sehat di lingkungan aparatur, sehingga memberi peluang bagi berkembangnya
paham “Machiavelli: menghalalkan segala cara”, yang tentunya akan mempengaruhi kinerja pemerintahan itu
sendiri.
Kelembagaan, proses rekrutmen dan pembinaan aparatur
tidak terpola secara definitive. Meniadakan atau mengadakan suatu
lembaga sangat bergantung pada elit politik yang berkuasa. Akibatnya dengan
mudah suatu lembaga dibentuk tetapi dengan mudah pula dibubarkan, tanpa melalui
suatu analisis yang mendalam. Kondisi ini tentunya akan berdampak terhadap
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, pembinaan karier aparat, serta
kebutuhan pelayanan masyarakat. Proses rekrutmen masih bersifat sentralistis
dan cenderung subjektif, berdasarkan suatu analisis pekerjaan/kebutuhan yang
tidak komprehensif. Pembinaan karier aparat tidak didasarkan pada penilaian
kompetensi yang objektif. Pengisian jabatan cenderung bermuatan politis dan
bernuansa KKN.
Sistem insentif secara kelembagaan maupun individu
yang berpola anutan diferensiasi berdasarkan dimensi input (DIP, pendidikan
dan masa kerja) telah ikut memberi kontribusi bagi rendahnya kinerja aparat.
Setiap aparat akan berlomba-lomba untuk menyusun proposal perencana program
yang baik sebagai dasar penentuan insentif walaupun program tersebut tidak
memberi impac bagi masyarakat. Aparat dapat menggunakan segala cara mengejar
ijasah pada tingkat tertentu karena akan berpengaruh pada golongannya yang
berarti berpengaruh pula pada insentif yang diperoleh, walaupun yang bersangkutan
tidak produktif.
Aktivitas aparat cenderung menembus batas-batas
fungsinya sebagai pelaku administratif. Intervensi kepentingan politik dalam
lingkaran aparatur pemerintahan sangat kental. Penunjukan/pengangkatan seorang
pejabat structural di jajaran pemerintahan daerah tidak lagi didasarkan pada carrier
system tetapi spoil system, tergantung dari like and dislike
atasan. Akibatnya aktivitas aparatur dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Adanya ketergantungan semu rakyat terhadap aparatur, aparatur
berada pada posisi yang dominan, sedangkan rakyat berada pada posisi marginal.
Dalam kondisi inilah maka rakyat sering dikooptasi oleh aparatur untuk
kepentingan mempertahankan “status quo”.
Terbentuk dan berkembang di lingkungan aparatur,
mentalitas konsumtif, yakni sikap mental yang berorientasi membelanjakan bukan
menghasilkan, feodalistik, cenderung minta dilayani bukan melayani,
primordialisme, mengedepankan kepentingan golongan atas dasar etnik atau suku,
nepotisme mengutamakan kerabat, mengagungkan status sosial, bekerja untuk
mengejar prestise bukan prestasi. Di sisi lain kualitas sumberdaya masyarakat
yang tidak memadai telah menempatkan rakyat pada ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap birokrasi.