Permasalahan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua

No comment yet
A.    Kedudukan MRP dalam Struktur Pemerintah Daerah Provinsi Papua
Pilar utama dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Papua terdiri atas tiga komponen, yakni DPRP, Pemerintah Daerah (Gubernur beserta perangkat lainnya), dan MRP.
Dalam konteks ini, DPRP diposisikan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, dan MRP sebagai badan representase kultural orang asli Papua. Sebagai badan legislatif DPRP berwenang  dalam melaksanakan fungsi dibidang legislatif, yang mencakup: (1) legislasi; (2) budgeting (penganggaran); (3) pengawasan. Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif berwenang dalam melaksanakan fungsi pemberian pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, serta pelaksanaan pembangunan. Di samping itu sebagai wakil Pemerintah Pusat, Gubernur juga memiliki kewenangan melaksanakan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Papua. Sedangkan MRP yang merupakan representasi kultural orang asli Papua memiliki kewenangan melaksanakan fungsi tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Uraian di atas memberi gambaran bahwa sebagai pilar penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, ketiga lembaga ini memiliki kewenangan dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Fungsi masing-masing lembaga tersebut memiliki korelasi tetapi tidak tumpang tindih (overlapping), bahkan merupakan satu kesatuan sinergis, yang diharapkan dapat lebih meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara berkeadilan dan bermartabat, dengan partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya. Pola dan mekanisme hubungan sinergis dengan tugas dan wewenang berbeda dalam rangka implementasi UU Otsus oleh ketiga lembaga ini, yaitu: Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.
MRP merupakan lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Ini berarti bahwa MRP memiliki kewenangan yang terbatas. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Perdasus.
Untuk menunjang pelaksanaan tugas MRP, dibentuk Sekretariat MRP. Sekretariat MRP dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertugas membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya. Sekretaris MRP diangkat dari PNS yang memenuhi syarat oleh Gubernur. Sekretariat MRP secara operasional berada di bawah pimpinan MRP dan secara teknis administrasi berada di bawah Sekretaris Daerah Provinsi. Kedudukan, susunan organisasi dan tata kerja serta keuangan Sekretariat MRP diatur dalam Perdasi. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat MRP disebutkan bahwa Sekretariat MRP mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan administrasi kepada Pimpinan dan Anggota MRP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU Otsus Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif, serta MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Pembentukan MRP dilatarbelakangi oleh beberapa alasan:
  1. Hak-hak politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung terabaikan;
  2. Representasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan di lembaga-lembaga
  3. Politik (parpol/legislatif) tidak cukup signifikan dan cenderung tidak terakomodasi;
  4. Aspirasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan cenderung tidak terakomodir;
  5. Tingkat partisipasi politik orang asli Papua dan kaum perempuan tergolong relatif rendah.
  6. Komitmen untuk menghormati adat dan budaya, memberdayakan kaum perempuan, dan memantapkan kerukunan hidup beragama;
  7. Komitmen untuk melakukan rekonsiliasi antara sesama orang asli Papua maupun orang asli Papua dengan penduduk Provinsi Papua. Hak-hak politik orang asli Papua di provinsi Papua belum terlindungi secara memadai.
Kondisi ini berimplikasi terhadap akomodasi aspirasi atau kepentingan orang asli Papua. Merespon kondisi ini, maka Undang-Undang No.21 tahun 2001 secara khusus memberi jaminan perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang jumlahnya 2/3 dari jumlah anggota DPRP. Mengingat bahwa jumlah anggota DPRP adalah 56 (lima puluh enam) orang, maka jumlah anggota MRP adalah 42 (empat puluh dua) orang. Keanggotaan MRP terdiri atas, wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
Sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, maka MRP memiliki tugas dan wewenang tertentu. Tugas dan wewenang MRP sebagaimana diatur dalam UU Otsus, Pasal 20, ayat (1) adalah:
  1. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP;
  2. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP;
  3. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
  4. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;
  5. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan
  6. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota serta Bupati/ Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud diatur dengan perdasus.


B.     Permasalahan MRP dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
1.      Kebijakan Pemerintah Pusat Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tentang MRP
Pada tanggal 23 Desember 2004 di Jakarta Presiden Republik mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah menjadi Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua (PP MRP) dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 165, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 446. Diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang MRP tersebut adalah dalam rangka menjalankan amanat UU Otsus Pasal 72 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa: (1) “Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah; (2) selanjutnya Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima.
Dalam kenyataannya sejak diusulkan oleh Gubernur dan DPRP pada tanggal 15 Juli 2002, Peraturan Pemerintah tersebut baru ditetapkan setelah ± 2 (dua) tahun mengendap di pihak Pemerintah tanpa ada alasan yang jelas. Padahal merespon penyerahan usulan pihak Pemerintahan Daerah mengenai syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP, pihak Pemerintah maupun Pemerintahan Daerah telah membentuk tim yang ditugasi untuk membahas substansi materi Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut. Ke-2 (kedua) tim juga telah melakukan pembahasan bersama beberapa kali dan sudah ditemukan adanya kesamaan persepsi diantara ke-2 (kedua) tim sebagaimana dimaksud. Akan tetapi hasil pembahasan ke-2 (kedua) tim tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang. Akhirnya Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak kunjung ditetapkan.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Megawati Soekarno Putri kepada Susilo Bambang Yudoyono, pada oktober 2004, maka Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia, memasukan penyelesaian Peraturan Pemerintah tentang MRP sebagai salah satu dari agenda prioritas 100 (seratus) hari kerja pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden Republik Indonesia, terbukti ketika pada tanggal 23 desember 2004, Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 tentang MRP ditetapkan, dan secara resmi diserahkan kepada pemerintahan dan masyarakat di Papua pada tanggal 26 desember 2004 bersamaan dengan perayaan Natal Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan masyarakat di Jayapura.
Sebagai akibat dari keterlambatan Pemerintah Menetapkan Peraturan Pemerintah tentang MRP, sebagai salah satu institusi penting dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, maka tentunya hal ini telah pula berdampak terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa berapa dimensi dalam proses politik dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua sebagai pengajawantahan dari kebijakan otonomi khusus tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Peraturan daerah khusus sebagai instrumen hukum daerah tidak dapat dibuat, karena berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, proses perumusannya harus melibatkan MRP.
MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus, yang diajukan oleh DPRP. Selain itu komitmen Pemerintah pada semua tingkatan dengan masyarakat di Papua untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua, juga menjadi sumir jika Majelis Rakyat Papua belum terbentuk. Hal ini disebabkan karena MRP adalah lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diberi wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli papua.
Oleh karena itu maka jelaslah bahwa keterlambatan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang MRP tentunya berimplikasi terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Ketiadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) berarti beberapa komitmen yang tersurat dan tersirat dalam UU Otsus, sebagai landasan hukum pemberlakuan kebijakan otonomi khusus papua tidak dapat teraktualisasi secara optimal.
Meskipun PP MRP sudah dikeluarkan, akan tetapi materi muatannya belum dipahami secara benar. Di dalam PP MRP, materi muatannya sudah memuat 6 (enam) aspek dari 7 (tujuh) aspek yang diamanatkan dalam UU Otsus. Berdasarkan hasil identifikasi 6 (enam) aspek yang membutuhkan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah, sudah termuat dalam PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang MRP. Hasil identifikasi tersebut dapat dilihat pada table 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1 Identifikasi Aspek-Aspek dalam UU Otsus yang sudah termuat dalam PP MRP
No
Materi Muatan UU Otpus
Materi Muatan PP MRP
1
Pasal 19 ayat (4) tentang Kedudukan
Keuangan MRP
Bab XIII, Pasal 57 s.d. 68
2
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan Hak MRP
Bab X, Pasal 42 s.d. 45
3
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan Hak Anggota
Bab X, Pasal 46 s.d. 49
4
Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) tentang
Pelaksanaan Kewajiban MRP
Bab X, Pasal 5
5
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) tentang
Tata Cara Pemilihan Anggota MRP
Bab III, Pasal 5 s.d. 18
6
Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) tentang
Pengesahan dan Pelantikan Anggota
MRP
Bab V, Pasal 17 s.d. 18

Sedangkan satu Pasal lagi yang memerlukan Peraturan Pemerintah lagi adalah Pasal 18 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Pelaksanaan Kewenangan Khusus. Dengan demikian adanya pendapat oleh Pemerintah Pusat maupun beberapa kalangan di Daerah, bahwa UU Otsus tidak berjalan karena belum terpenuhinya 7 (tujuh) PP lagi adalah pemahaman yang keliru.
2.      Pelaksanaan Tugas dan Kewenagangan MRP
Kontroversial sejumlah keputusan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hakhak orang asli Papua, telah pula menambah daftar problem dalam implementasi Otsus Papua. Sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hakhak orang asli Papua, maka MRP memiliki tugas dan wewenang tertentu. Setelah Peraturan Pemerintah (PP) tentang MRP di tetapkan, maka Pemerintah Daerah mulai melakukan langkahlangkah dalam mempersiapkan proses rekrutmen anggota MRP.
Pembentukan MRP membutuhkan waktu lebih dari empat tahun sejak diberlakukannya UU Otsus. Pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pelaksana (PP) Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, 23 Desember 2004. Padahal usulan mengenai syarat dan jumlah serta tata cara pemilihan anggota MRP telah diusulkan Gubernur dan DPRP kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP), sejak tanggal 14 Juli 2002. Jika Pemerintah konsisten berdasarkan ketentuan pasal (2) UU Otsus, maka seharusnya Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber antara lain mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno (lihat Kompas, 16 Januari 2003), maka dapat disebutkan bahwa, setidaknya ada tiga alasan mengapa dibutuhkan waktu cukup lama bagi penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan teknis operasional bagi MRP, yaitu:
  1. Ada kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintah, bahwa MRP akan menjadi lembaga berkuasa penuh (superbody) dan bakal mengganggu proses politik dan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua, sehingga aturan mainnya perlu dibuat dengan lebih hati-hati;
  2. Sosialisasi otonomi khusus dan pemahaman tentang MRP belum berlangsung secara berkesinambungan serta lebih intensif dan menyeluruh. Perlu ada persepsi dan pemahaman yang utuh bahwasanya otonomi khusus bukan tujuan akhir melainkan proses menuju kesejahteraan rakyat Papua.
  3. Indonesia belum berpengalaman dalam membentuk lembaga seperti MRP. Di sisi lain persoalan di Papua sendiri cukup “kompleks”, misalnya, jumlah suku bangsa sangat banyak. Kesulitannya menyangkut suku mana yang diberi kesempatan duduk di majelis ini, bagaimana kriterianya? Masing-masing suku bangsa tentu akan melakukan segala daya dan upaya untuk memperjuangkan wakilnya menjadi anggota MRP.
Setelah Peraturan Pemerintah (PP) tentang MRP ditetapkan, maka Pemerintah Daerah mulai melakukan langkah-langkah dalam mempersiapkan proses rekrutmen anggota MRP, yang ditandai dengan pembentukan Panitia Pemilihan Anggota MRP, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan distrik. Panitia Pemilihan Anggota MRP sesuai dengan kewenangan yang diberikan, mulai melakukan tahapan pemilihan, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan.
Proses rekrutmen anggota MRP yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan pada beberapa tahapan, berlangsung tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 Tentang MRP dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) No. 4 tahun 2005, tentang Tata cara pemilihan Anggota MRP. Proses musyawarah di tingkat kampung pada umumnya tidak dilakukan, padahal tahapan tersebut merupakan proses awal yang sangat menentukan. Proses di tingkat distrik pada beberapa daerah pemilihan juga berlangsung tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang seharusnya. Berbagai fakta sebagaimana tersebut, tentunya dapat dijadikan sebagai pembenaran (jastification) atas penilaian bahwasanya proses pemilihan anggota MRP tahun 2005 pada beberapa tahapan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyebab terjadinya hal sebagaimana di sebutkan diatas disebabkan karena beberapa hal, antara lain:
  1. Keterbatasan waktu untuk melakukan proses pemilihan, mulai dari pencalonan sampai dengan peresmian. Ada target yang di buat oleh pemerintah provinsi, bahwa anggota mrp sudah harus dilantik sebelum proses pemilihan kepala daerah langsung (gubernur dan wakil gubernur), yang dimulai pada juni 2005;
  2. Kondisi geografis daerah provinsi papua dengan topografi yang bervariasi, yang menyebabkan adanya kendala transportasi dan komunikasi;
  3. Belum tersosialisasinya pemilihan anggota mrp secara menyeluruh dan merata, kesemua masyarakat di kampung-kampung, akibatnya masih banyak pihak yang tidak memahami tentang mrp termasuk prosedur dan mekanisme rekrutmen anggotanya. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban setiap individu dalam proses pemilihan dimaksud.
Proses pemilihan anggota MRP, dengan berbagai kekurangan sebagaimana tersebut, akhirnya menghasilkan 42 (empat puluh dua) orang calon anggota terpilih. Calon anggota terpilih sebagaimana dimaksud disahkan pengangkatannya sebagai anggota MRP berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 220-982 Tahun 2005, tanggal 29 Oktober 2005.
Dalam perkembangannya berselang 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah/janji (Oktober 2005), MRP dituntut untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam hal memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Implementasinya MRP tanpa mempertimbangkan faktor prosedur dan mekanisme dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yang seharusnya diatur dalam sebuah Perdasus.
MRP berdasarkan Surat keputusan No. 06/MPR/2005 tentang Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan Bakal Calon Gubernur dan Bakal Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua Masa Jabatan 2005-2010, telah member pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP. Karena tidak didasarkan pada suatu mekanisme yang baku berdasarkan Perdasus, maka dalam menilai bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur orang asli Papua atau bukan, dilakukan dengan cara voting. Hal ini tentunya menjadi catatan kelabu bagi demokrasi di Papua, sekaligus bagi keberadaan MRP, karena suatu hal yang sangat riskan jika keturunan seseorang ditentukan atas pilihan orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adat yang memiliki hak kologial, serta dilakukan berdasarkan suara terbanyak (voting).
Setelah memasuki tahun ketiga sejak diresmikan tahun 2005, MRP, nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung melakukan hal-hal di luar tugas dan wewenangnya, yang bermuara pada kontra produktif. MRP, misalnya membuat Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang Lambang-lambang Daerah. Padahal kewenangan membuat Raperdasus ada di tangan DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Sedangkan MRP hanya berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan. Di sisi lain dalam Raperdasus tersebut MRP menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang daerah Provinsi Papua, dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu Daerah Provinsi Papua. Raperdasus ini sangat kontroversial, dan sempat menimbulkan ketegangan antara “Jakarta” dan “Papua”, karena bendera dan lagu tersebut dianggap sebagai bendera dan lagu yang sama dengan bendera dan lagu yang digunakan oleh kelompok “separatis”. Hal ini akhirnya mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 tentang Lambang-lambang Daerah, yang melarang penggunaan lambing-lambang yang sama dan serupa dengan lambang-lambang yang digunakan kelompok-kelompok “separatis”.
Salah satu penyebab MRP belum berfungsi atau melakukan hal-hal di luar kewenangannya adalah karena sampai saat ini belum ada Perdasus yang mengatur tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP, sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus, Pasal 20 ayat (2). Selain itu sejumlah perdasus yang urgen dan mendesak terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua belum ada satupun yang dibuat dan diberlakukan. Padahal perdasus merupakan instrumen hukum bagi MRP untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kondisi ini diikuti pula dengan keterbatasan kualitas keanggotaan (rata-rata anggota berpendidikan setingkat sekolah menengah umum/kejuruan). Bahkan sebagian besar anggota MRP memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat terbatas tentang substansi kebijakan otonomi khusus Papua.
3.      Kondisi Anggota MRP
Pemberlakuan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua, menuntut adanya penyesuaian berbagai unsur pemerintahan daerah, sebagai prasyarat guna mewujud-nyatakan kewenangan yang dimiliki dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri menuju demokratisasi dan good governance. Utomo (2007: 78), menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu diperhatikan adanya 4 (empat) isu strategis, yaitu: (1) pengembangan kelembagaan; (2) pengembangan sumberdaya manusia aparatur; (3) pengembangan jaringan kerja (net work); dan (4) pengembangan lingkungan yang kondusif. Pandangan ini mempertegas bawasanya aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu unsur penting dalam menggerakan sumberdaya lain yang dimiliki pemerintah daerah.
Seiring dengan perubahan fungsi pemerintah, yakni sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan, dan administrator kemasyarakatan menjadi melayani, membangun dan memberdayakan, masyarakat, maka performance aparatur pemerintahan juga seharusnya mengalami perubahan, apalagi dalam kerangka otonomi khusus. Perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam otonomi khusus menjadi tidak berarti kalau tidak didukung oleh performance aparatur pemerintahan yang handal.
Aparatur pemerintahan yang dimaksudkan dalam konteks ini tidak secara mikro dan statis, yakni terbatas pada jajaran pemerintah daerah atau perangkat daerah, tetapi bersifat makro, termasuk pihak MRP.
Untuk memotret kondisi aparatur pemerintahan di Provinsi Papua, maka setidaknya dapat digunakan indikator, tingkat pendidikan dan pangkat/golongan. MRP memiliki kedudukan yang strategis dalam otonomi khusus Papua. Sebagai lembaga representasi kultural Majelis Rakyat Papua oleh UU Otsus diberi kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Dalam konteks ini maka keanggotaan MRP seharusnya memiliki kualifikasi tertentu, baik secara formal maupun moral. Keanggotaan MRP berjumlah 42 orang yang masing-masing unsur (adat, agama dan perempuan) berjumlah 14 orang. Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk memotret kualifikasi anggota MRP adalah pendidikan formal. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa sebagian anggota MRP adalah berpendidikan setingkat sekolah menengah (SLTP dan SLTA) sebanyak 21 orang (50,00 %). 17 orang (40,47 %) berpendidikan sarjana dan hanya 4 orang (9,52 %) berpendidikan pascasarjana.
Kondisi faktual aparatur pemerintahan yang terbatas sebagaimana yang telah dinampakan tentunya memiliki implikasi yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diemban. Kualitas sumberdaya aparatur yang kurang memadai, telah membuat aparatur tidak memiliki kreativitas untuk menciptakan atau melakukan hal yang bersifat inovatif. Aparatur cenderung hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan rutinitas karena ketidakmampuan membuat terobosan baru. Kondisi ini diperparah lagi ketika banyak aparat pemerintahan yang cenderung bekerja untuk melayani diri sendiri atau melayani penguasa. Sikap ini telah menjadi semacam dogma yang terus-menerus mempengaruhi image para aparat maupun masyarakat dan berpengaruh secara signifikan dalam pembentukan perilaku para aparat.
Sistem, proses, dan prosedur yang berorientasi legalistic dengan pendekatan hirarkikal telah membentuk pola pikir, pola sikap, dan pola tindak aparat berorientasi pada aturan dan arahan pimpinan, hal ini tentunya mengkebiri kreativitas dan inovasi para aparat tersebut. Akibat ikutan dari pendekatan ini maka jabatan struktural dipandang memiliki kelebihan ketimbang jabatan fungsional. Kondisi ini telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat di lingkungan aparatur, sehingga memberi peluang bagi berkembangnya paham “Machiavelli: menghalalkan segala cara”, yang tentunya akan mempengaruhi kinerja pemerintahan itu sendiri.
Kelembagaan, proses rekrutmen dan pembinaan aparatur tidak terpola secara definitive. Meniadakan atau mengadakan suatu lembaga sangat bergantung pada elit politik yang berkuasa. Akibatnya dengan mudah suatu lembaga dibentuk tetapi dengan mudah pula dibubarkan, tanpa melalui suatu analisis yang mendalam. Kondisi ini tentunya akan berdampak terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, pembinaan karier aparat, serta kebutuhan pelayanan masyarakat. Proses rekrutmen masih bersifat sentralistis dan cenderung subjektif, berdasarkan suatu analisis pekerjaan/kebutuhan yang tidak komprehensif. Pembinaan karier aparat tidak didasarkan pada penilaian kompetensi yang objektif. Pengisian jabatan cenderung bermuatan politis dan bernuansa KKN.
Sistem insentif secara kelembagaan maupun individu yang berpola anutan diferensiasi berdasarkan dimensi input (DIP, pendidikan dan masa kerja) telah ikut memberi kontribusi bagi rendahnya kinerja aparat. Setiap aparat akan berlomba-lomba untuk menyusun proposal perencana program yang baik sebagai dasar penentuan insentif walaupun program tersebut tidak memberi impac bagi masyarakat. Aparat dapat menggunakan segala cara mengejar ijasah pada tingkat tertentu karena akan berpengaruh pada golongannya yang berarti berpengaruh pula pada insentif yang diperoleh, walaupun yang bersangkutan tidak produktif.
Aktivitas aparat cenderung menembus batas-batas fungsinya sebagai pelaku administratif. Intervensi kepentingan politik dalam lingkaran aparatur pemerintahan sangat kental. Penunjukan/pengangkatan seorang pejabat structural di jajaran pemerintahan daerah tidak lagi didasarkan pada carrier system tetapi spoil system, tergantung dari like and dislike atasan. Akibatnya aktivitas aparatur dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya ketergantungan semu rakyat terhadap aparatur, aparatur berada pada posisi yang dominan, sedangkan rakyat berada pada posisi marginal. Dalam kondisi inilah maka rakyat sering dikooptasi oleh aparatur untuk kepentingan mempertahankan “status quo”.
Terbentuk dan berkembang di lingkungan aparatur, mentalitas konsumtif, yakni sikap mental yang berorientasi membelanjakan bukan menghasilkan, feodalistik, cenderung minta dilayani bukan melayani, primordialisme, mengedepankan kepentingan golongan atas dasar etnik atau suku, nepotisme mengutamakan kerabat, mengagungkan status sosial, bekerja untuk mengejar prestise bukan prestasi. Di sisi lain kualitas sumberdaya masyarakat yang tidak memadai telah menempatkan rakyat pada ketidakmampuan untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap birokrasi.

Menjaga Cinta Karena-Nya

No comment yet
Kita yang tak pernah menyangka
Berusaha saling berbaik sangka
Ridha pada takdir Allah dan berjalannya waktu saja
Menjaga agar hati ini tak jauh terluka
Tertunggangi motivasi buta bukan karenaNya
Keraguan di antara batas tipis makna cinta sebagai fitrah atau nafsu saja
Di batas makna cinta yang akan memuliakan atau menjerumuskan kita
Khawatir terpijak jalan yang belum semestinya
Bukan mendulang pahala namun berbalas murkaNya
Andai pertemuan kita awali dengan melanggari syariatNya
Jauh dari misi menjaga ‘izzah Agama-Nya
Apalagi hendak menjaga diri atas maksiat dan dosa
Insya Allah, jika saat waktunya tiba
Semoga bertemu di suratan takdirNya
Pertemuan yang saling menyempurnakan setengah agama
Seraya berjihad bersama untuk mencukupkan setengahnya
Kita menjadi kawan sejati
Untuk meniti jalan ilahi
Kujanjikan sampai denyut nadi ini terhenti
Untukmu yang aku tak perlu tahu saat ini
#Untukmu yang ingin membangun cinta karenaNya bukan menjatuhkannya

Permasalahan Kelembagaan di Negara Berkembang

1 comment
Untuk melaksakanan pengembangan kelembagaan pemerintahan perlu menelusuri keadaan kelembagaan di negara berkembang pada umumnya. Tingkat perkembangan kelembagaan di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai ekologi adminisrasi. Ekologi administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Dengan mengenali berbagai indikator itu kita akan memperoleh gambaran mengenai ekologi administrasi di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ekologi administrasi di negara berkembang akan memberikan gambaran keadaan yang tidak terlalu menguntungkan bagi bekerjanya kelembagaan. Sebaliknya, kelembagaan yang terbelakang, artinya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan bagi kelembagaan yang seharusnya, akan memperburuk keadaan atau lingkungannya. Hubungan timbal balik antara kelembagaan dan lingkungan ini amat besar intensitasnya dalam administrasi negara dibanding jenis administrasi lainnya.
Pendekatan untuk telaah pengembangan kelembagaan pemerintahan akan dilakukan dari sisi administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari sistem administrasi negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi pada birokrasi, baik sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan birokrasi disini adalah tingkatan nasional dari administrasi, yang memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat umum (overall) yang mempengaruhi pelayanan publik yang bersifat tradisional serta pengelolaan pembangunan sosial ekonomi di negara berkembang.
Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred W. Riggs menjelaskan bahwa birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Menurut Fred W. Riggs, Hoessein bahwa istilah birokrasi dapat dipilah menurut “content” dan “context”nya. Konteks merujuk pada setting dari birokrasi itu berada, yang dapat dibedakan atas birokrasi private dan birokrasi publik. Birokrasi publik terbagi atas birokrasi partai, birokrasi dalam lembaga legislatif, birokrasi dalam lembaga yudisial, dan birokrasi eksekutif bahkan birokrasi dari perusahaan negara. Konten dipilah atas dua dimensi: sipil-militer dan karir non karir sehingga hasilnya menjadi empat sel, yakni: sipil karir, sipil non karir, militer karir dan militer non karir.
Studi awal mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya diberikan oleh Riggs (1985). Ia menggambarkan taraf-taraf perkembangan administrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yang paling maju. Riggs mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai the theory of prismatic society, di mana ia menempatkan fase transisi dalam perkembangan suatu masyarakat sebagai prismatic society, yang apabila ditarik garis linear terletak antara apa yang dinamakan sebagai fused society untuk masyarakat tradisional dan diffracted society untuk masyarakat yang lebih maju. Istilah-istilah tersebut dipinjamnya dari ilmu pengetahuan eksakta, khususnya ilmu fisika dengan menggunakan sifat-sifat yang dimiliki suatu prisma terhadap cahaya. Model birokrasi pada masyarakat yang prismatis disebutnya sebagai bureau atau “sala model” dan untuk masyarakat tradisional atau fused society model administrasinya disebut “chamber”, sedangkan untuk masyarakat yang telah maju atau diffracted diberinya istilah “office”.
Riggs membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Pembagian Masyarakat Menurut Riggs (1985)
Masyarakat Tradisional
Masyarakat Modern
Masyarakat Transisi
-       Masyarakat  agraria/diffused
-       Nilai askripsi: mementingkan faktor keturunan dan partikularis-me (suku,  agama,adat istiadat, dsb)
-       Spesialisasi belum berkembang
-       Feodal-absolut

-          Masyarakat industri/diffracted
-          Nilai prestasi/ achievement dan universalisme
-          Spesialisasi tinggi
-          Sistem politik demokratis
-          Birokrasi rasional/Weber
-          Masyarakat prismatik
-          Transisi dari tradisional ke modern
-          Secara formal modern tapi nilai tradisi tetap masih dominan
-          Formalism

Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual.
Adapun masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar.
Rumusan ini diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis.  Dalam kultur masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia.  Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai ciri khas masyarakat model prismatik.
Riggs melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di banyak negara berkembang.
Menurut Fred W. Riggs (1985) administrasi pembangunan berkaitan dengan proses adminstrasi dari suatu program pembangunan, dengan metode yang digunakan terutama oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan kegiatannya yang telah direncanakan guna menemukan sasaran pembangunan (pembangunan admistrasi). Administrasi pembangunan dikaitkan dengan implikasinya, sehingga apabila suatu program pembangunan berhasil dilaksanakan, dengan sendirinya akan mendorong perubahan-perubahan dalam berbagai bidang (administrasi pembangunan). Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).
Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara-negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, dan ekonominya, agar pembangunan dapat berhasil. Administrasi pembangunan dikembangkan sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan antara administrasi pemerintahan di negara maju dengan administrasi pemerintahan di negara berkembang. Fred W. Riggs memandang bahwa administrasi negara untuk negara berkembang mempunyai pola perilaku yang berbeda dengan negara maju, yang menyangkut sistem, struktur, dan fungsi.
Administrasi pembangunan adalah untuk negara berkembang, dan umumnya tidak diterapkan di negara maju, meskipun administrasi Negara di negara maju juga secara aktif terlibat dalam upaya memperbaiki diri dan kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, latar belakang perbedaan antara keduanya terletak pada dua aspek: (1) tingkat perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan (2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan sistem nilai serta penerapan sasaran-sasaran pembangunan.
Perbandingan dengan negara-negara lain dapat menghasilkan gagasan perbaikan. Meskipun lingkungannya berbeda, namun dapat dilakukan penyesuaian sehingga timbul asas-asas universal dari administrasi negara. Riggs mencatat setidaknya ada tiga kecenderungan dalam administrasi pembangunan, yaitu:
  1. Pergeseran dari pendekatan normatif ke pendekatan empiris, yang sifatnya hanya memberikan norma saja atau hanya memberikan pedoman;
  2. Pergeseran dari pendekatan ideologis ke arah pendekatan nomotetis, yaitu pendekatan yang hanya menggambarkan atau meninjau semua yang berulang kali terjadi kemudian daripadanya ditarik dalil-dalil yang bersifat umum; dan
  3. Pergeseran dari semua pendekatan tersebut ke pendekatan ekologis, yang selalu memperhatikan faktor-faktor yang saling berpengaruh.
Maka dilakukanlah studi banding (comparative study) antara negara maju dan negara berkembang. Untuk itu para ahli melakukan comparative studi yang dipelopori Fred W. Riggs tahun 1957: Agraria and Industria yang disebut sebagai CAG (Comparative Administration Group) dengan tujuan:
  1. Mencari model dan konsep administrasi negara dan kelembagaan yang cocok untuk negara berkembang;
  2. Mengembangkan administrasi negara untuk pembangunan di negara berkembang.
Hasil studi banding antara negara maju dan negara berkembang tersebut mengungkap adanya perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam hal administrasi pemerintahan atau kelembagaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme;
  2. Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilah bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal;
  3. Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang;
  4. Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanisme formal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market;
  5. Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Karakteristik birokrasi negara berkembang menurut Fred W. Riggs adalah:
  1. Birokrasi terlibat jauh dalam pengambilan keputusan politik, jadi birokrasi tidak hanya terlibat dalam fungsi penerapan peraturan atau fungsi keluaran lainnya;
  2. Birokrasi menunjukan karakteristik prismatik, dimana menunjukan kecenderungan perilaku birokrasi yang umum dan dapat diperkirakan dengan terbuka;
  3. Birokrasi sangat berkaitan dengan apa yang disebut wewenang atau kekuasaan politik yang dominan pada rezim itu;
  4. Birokrasinya adalah multifungsionalis dari peranan birokrasinya. Mereka menunjukan kecenderungan nyata dari birokrat yang mempunyai kedudukan tinggi dengan sendirinya menjadi elit politik dalam masyarakat dan bahkan menjadikan dirinya menjadi akar bagi elit yang dominan.
Birokrasi perlu mendapat perhatian dalam proses pembangunan, karena ia dapat menjadi kekuatan yang baik, tetapi dapat juga menjadi penghambat bagi perubahan-perubahan jika yang lebih menonjol adalah sikap ritualis. Di negara maju, peranan pemerintah relatif kecil, karena lembaga-lembaga masyarakat telah berkembang maju. Bahkan pemerintah yang kecil dan sedikit keterlibatannya lebih dikehendaki. Sebaliknya, di negara berkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintah adalah lembaga yang paling maju. Oleh karena itu, tanggung jawab pembangunan terutama berada di pundak pemerintah (administrasi negara). Lembaga lain, seperti usaha swasta, pada umumnya belum berkembang.
Dengan demikian, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara-negara berkembang pada awal kemerdekaanya, umumnya mempunyai ciri -ciri sebagai berikut: Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, dan tidak berorientasi kepada pembangunan.
Sifat masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat transisi, yakni antara masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama.
  1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern;
  2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita;
  3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Seorang ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs, 1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan sistem politik atau tradisi kebudayaannya.
Menurut Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat umum (common) di negara berkembang. Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.
Para ahli administrasi dan manajemen pembangunan khususnya untuk negara-negara dunia ketiga diantaranya Fred W. Riggs (1985) berpendapat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan negara-negara sedang berkembang adalah kelemahan pada faktor organisasi dan administrasi. Kenyataan menunjukkan bahwa memang di negara sedang berkembang khususnya di Indonesia dengan ciri yang sangat pluralis dari seluruh aspeknya bahkan disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah barang tentu menghadapi persoalan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang sangat kompleks, apalagi potensi dan sumberdaya pembangunan yang tersebar tidak merata diseluruh wilayah nusantara, sementara konsentrasi jumlah penduduk yang terpusat di pulau jawa merupakan tantangan administrasi negara sepanjang zaman dari rezim pemerintahan dahulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi. Gejala tumbuhnya birokrasi yang terlarnpau kuat diungkapkan oleh Fred W. Riggs ketika ia rnelakukan penelitian modernisasi di Thailand yang kemudian muncul dengan konsep "Bureaucratic Polity" yang menggambarkan betapa birokrasi di negara berkembang telah memasuki suatu jaringan kehidupan politik dan ekonomi yang sangat kuat yang dilakukan oleh negara terhadap kehidupan masyarakat.
Studi Fred W. Riggs tentang Bureaucratic Polity nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Dalam studi Riggs birokrasi berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.
Dalam konsep bureaucratic polity, Fred W. Riggs (1985) mencoba menjelaskan bahwa birokrasi menjadi arena utama permainan politik yang dipertarukan dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik. Sehingga birokrasi "encapsulated" dan tidak tanggap terhadap kepentingan di luar dirinya atau terjadi imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.
Birokrasi menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam kaitannya dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Administrasi pemerintahan maupun pelayanan publik yang birokratis seolah telah menjadi karakteristik yang melekat di berbagai negara berkembang. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya perbaikan.
Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak, serta tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, berbagai upaya yang serius dan tegas diperlukan untuk memperbaiki birokrasi negara ini. Upaya tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari problematika KKN yang kian pelik dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini lembaga, dan pada hampir semua aktivitas.

Pengembangan Kelembagaan Bidang Pemerintahan

1 comment
Pengembangan kelembagaan sering dikenal juga sebagai pembinaan kelembagaan, yang didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia. Khasnya, pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen, termasuk pemantauan dan evaluasi, perencanaan dan lain-lain (Israel, 1992). Menurut Arturo Israel, konsep umum mengenai lembaga meliputi apa yang ada pada tingkat lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan, parastatus, departemen-departemen di pemerintah maupun milik swasta. 
Kelembagaan lebih dipandang sebagai suatu manajemen dan keterkaitan antara sumber daya manusia, keuangan dan hubungan atau sistem kerja antara suatu lembaga dengan lembaga lainnya.  Hasil kegiatan-kegiatan dalam pengembangan kelembagaan bersifat abstrak dan memerlukan waktu cukup lama sebelum mencapai hasil yang diharapkan bahkan beberapa kelembagaan yang sudah ada cenderung melemah karena berbagai sebab. Dari studi-studi evaluasi yang dilakukan, dikelompokkan beberapa faktor yang dapat mengurangi keacakan kelompok sehingga dapat memelihara kelembagaan, yaitu:
  1. Faktor eksogen
  2. Individu-individu atau kelompok-kelompok individu yang menonjol
  3. Perencanaan yang efektif dan pelaksanaan program pengembangan kelembagaan
  4. Aplikasi yang efektif mengenai teknik-teknik manajemen
  5. Harga-harga relatif yang memadai, dan
  6. Cukupnya komitmen politik.
Komitmen terhadap perbaikan lembaga dengan atau tanpa bank merupakan resep utama untuk kemajuan.
Persaingan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi prestasi lembaga.  Pada saat suatu lembaga berupaya untuk lebih menonjol, memperoleh laba yang lebih besar atau penghargaan lebih maka hal ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan lembaga-lembaga lainnya yang saling berkaitan dalam hubungan kelembagaan.  Persaingan tidak selalu merupakan hal yang negatif walaupun seringkali meningkatkan potensi konflik.  Persaingan dapat membawa hasil yang positif selama persaingan tersebut digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan kinerja dan prestasi suatu lembaga.  Namun pendekatan umum yang dianjurkan untuk memperbaiki prestasi lembaga adalah: kesadaran yang lebih besar terhadap isu-isu, penekanan pada sub sektor dan kegiatan dengan kekhususan yang rendah serta strategi untuk meminimalkan kebutuhan terhadap kapasitas lembaga. 
Salah satu kelemahan dalam administrasi di negara berkembang adalah unsur kelembagaan, padahal pembangunan memerlukan dukungan kelembagaan. Kelembagaan yang tercipta di negara berkembang pada umumnya adalah kelembagaan tradisional atau warisan penjajahan. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks, yang meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan, memerlukan lembaga-lembaga yang mampu menampung, menyalurkan, dan mengatasi, serta mensinergikan berbagai aspek tersebut. Kelembagaan dalam hal ini mengandung arti luas, yaitu dapat berupa organisasi-organisasi formal seperti, antara lain birokrasi, dunia usaha, partai-partai politik, tetapi juga dapat berupa lembaga ekonomi seperti pasar, lembaga-lembaga hukum, dan sebagainya.
Menjadi tugas menajemen pembangunan untuk membangun dan mempersiapkan lembaga yang dibutuhkan agar upaya pembangunan dapat berhasil mencapai sasarannya. Pertama-tamanya tentunya lembaga pemerintah perlu dikembangkan agar dapat berfungsi sebagai alat pembangunan. Selain itu, juga harus dikembangkan lembaga-lembaga sosial ekonomi dan sosial politik masyarakat, agar pembangunan dapat berlangsung efisien dan memperoleh partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat, dan dilakukan dengan derajat rasionalitas yang tinggi.
Permasalahan birokrasi di negara berkembang ingin diperbaiki melalui pengembangan kelembagaan. Banyak konsep dikembangkan dalam pengembangan kelembagaan atau pembangunan administrasi. Di antaranya, pengkajian paling awal dan banyak menjadi rujukan para pakar administrasi pembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs juga. Menurut Riggs (1985), pengembangan kelembagaan merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Birokrasi itu sendiri, menurut penglihatan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian, menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi itu sendiri. Atas dasar itu, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugas mewujudkan tujuan sangat esensial sifatnya. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan akan berkaitan erat dengan peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan, atau dalam hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs (1985) melihat pengembangan kelembagaan dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasikan (role specialization) dan pembagian pekerjaan (division of labor) yang makin tajam dan intens dalam masyarkaat modern. Secara khusus Riggs menganalisis diferensiasi politik dan administrasi dalam proses pengambilan keputusan yang dipandangnya sebagai indikator perkembangan ke arah modernisasi. Dalam konteks ini, ia melihat berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga-lembaga peradilan khusus, sebagai ciri penting dalam proses pengembangan kelembagaan.
Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja bersama (social performance). Riggs juga membedakan antara hasil (accomplishment) dengan upaya yang dilakukan (endeavour). Dalam pengembangan kelembagaan, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukan semata-mata hasil. Contohnya petugas pajak yang menarik pajak dan kelompok orang-orang kaya dengan mudah akan memperoleh hasil lebih besar dibandingkan dengan petugas yang bertanggungjawab menarik pajak dari lapisan yang rendah pendapatannya. Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah efektivitas dan efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan seberapa jauh sasaran telah tercapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding usaha, biaya, atau pengorganan yang harus dikeluarkan.
Disamping itu studi yang dilakukan oleh Gormley dan Balla (2003) menunjukkan bahwa kinerja pemerintah sangat dipengaruhi oleh faktor tugas pekerjaan, dukungan politik, dan kepemimpinan. Dalam kaitannya dengan tugas pekerjaan, diketemukan bahwa lembaga yang memiliki tugas utama mendistribusikan uang kepada penduduk, cenderung dinilai berkinerja baik, sedangkan yang bertugas mengumpulkan uang, cenderung dinilai berkinerja buruk.
Diketemukan juga bahwa lembaga yang memiliki misi yang tidak jelas (ambiguous) atau mengandung konflik, cenderung berkinerja buruk. Sementara yang memiliki output dan outcome yang dapat diamati, cenderung berkinerja baik. Dalam hubungannya dengan dukungan politik, kedua ahli itu menemukan bahwa lembaga yang ditekan oleh konstituen yang beraneka ragam, cenderung berkinerja baik, juga lembaga yang program, dan kebijakannya memberikan dukungan yang luas, cenderung berkinerja baik.
Lembaga pemerintah yang memberikan kontrol yang bersifat koersif cenderung lebih buruk kinerjanya daripada yang memiliki kontrol yang bersifat katalik. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, dikatakan bahwa lembaga yang memiliki pemimpin dengan keahlian dan pengalaman yang memadai, cenderung berkinerja baik. Lembaga dengan pemimpin yang berkomitmen tinggi, cenderung berkinerja baik, demikian pula lembaga dengan pemimpin menarik perhatian publik cenderung memiliki kinerja baik. Kinerja tidak dapat dilepaskan dari faktor leadership karena ia melekat pada kapasitas menajemen.
Riggs kemudian mempelajari lebih lanjut hubungan antara tingkat diferensiasi dan tingkat kinerja dalam konteks paradigma prismatic society-nya. Dengan teori-teorinya itu, sistem yang maju atau diffracted adalah yang skala diferensiasi dan kinerjanya tinggi, sedangkan sistem yang agak terdiferensiasi dan kinerjanya rendah adalah prismatic, yaitu birokrasi umumnya di negara berkembang. Pengembangan kelembagaan memerlukan sikap mendasar dan birokrasi. Patologi birokrasi di berbagai negara berkembang menunjukan adanya kecendrungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo resisten terhadap perubahan, cendrung terpusat (centralised), dan dengan kewenangannya yang besar sering kali memanfaatkan kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Oleh karena itu, seperti dikemukakan di atas penyempurnaan aparatur negara acap kali menjadi program pembangunan di banyak negara yang sedang membangun.
Dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pengembangan kelembagaan di bidang pemerintahan. Penyebabnya dalah pendekatan yang sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tatapi lebih sulit dilakukan, adalah pengembangan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut, introjection, merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut:
Pertama, birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Pengalaman banyak negara menunjukan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi rakyat amat diperlukan. Partisipasi rakyat pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local comunities). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat yang maju dan mandiri.
Kedua, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the under privileged). Sikap pemilihakan ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi banyak negara berkembang (terutama di lapisan atas yang justru menentukan) umumnya merupakan kelompok elite suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat miskin dan terbelakang.
Ketiga, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara di mana hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat paternal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki.
Keempat, mengembangkan keterbukaan (transparancy) dan kebertanggunjawaban (accountability). Yang acap kali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pengembangan kelembagaan dan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keengganan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalu saling silang gagasan (cross fertilization).
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem dan suatu istilah dalam teori dan praktek adminitrasi sudah cukup lama dan sering digunakan tetapi sebagai suatu konsep masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Gormley dan Balla (2003:10) menyatakan:
Accountability in the public sector should be based on the idea that public administrators can and should serve citizens in the public interest, even in situations involving complicated value judgments and overlapping norms. (Akuntabilitas di sektor publik harus didasarkan pada gagasan bahwa administrator publik dapat dan harus melayani warga untuk kepentingan umum, bahkan dalam situasi yang melibatkan pertimbangan nilai rumit dan norma-norma yang tumpang tindih)
Gormley and Balla (2003, 11) melihat akuntabilitas dalam sektor publik pada empat aspek berdasarkan sumber kontrol yaitu akuntabilitas birokratik, akuntabilitas formal atau legal, akuntabilitas professional, dan akuntabilitas politik seperti pada tipologi akuntabilitas publik berikut:
  1. Akuntabilitas birokratik yaitu jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari interen organisasi. Akuntabilitas birokratik ditentukan/diadakan secara formal melalui hirarki dalam organisasi khususnya organisasi birokratik.
  2. Akuntabilitas profesional, jika tingkat pengawasannya rendah dan berasal dari internal organisasi. Akuntabilitas professional ditentukan/diadakan secara informal oleh anggota organisasi itu sendiri melalui melalui keahlian dan standar (yang mungkin dikembangkan oleh organisasi professional atau pendidikan dan pelatihan).
  3. Akuntabilitas legal, jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari luar organisasi. Akuntabilitas legal ditentukan/diadakan secara formal oleh hukum atau peraturan yang diciptakan oleh legislative, pengadilan atau lembaga peradilan seperti kejaksaan atau komisi pelayanan masyarakat.
  4. Akuntabilitas politik, jika sumber pengawasannya dari luar dan berada pada tingkat yang rendah. Akuntabilitas Politik tersebut ditentukan/diadakan secara informal oleh berbagai stakeholders dalam lingkungan akuntabilitas, bekerja baik secara langsung maupun melalui pejabat yang dipilih (elected officials).
Berkatian dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability), yang oleh Riggs (1996) ditekankan sebagai hakikat dari upaya pengembangan kelembagaan. Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tidaktanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggunjawabkan. Pertanggungjawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirakis dari bawah ke atas di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan publik dituntut agar transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menguntungkan rakyat banyak. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pengembangan kelebagaan yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan harus juga meliputi etika birokrasi.
Aspek akuntabilitas dan transparansi menjadi harga mati dalam pengembangan kelembagaan pemerintahan. Akuntabilitas dan transparansi tidak hanya menyodorkan takaran harga kinerja lembaga pemerintah tetapi juga menjadi cermin tingkat independensinya. Independensi (kemandirian) lembaga memiliki modal utama berupa kejelasan identitas lembaga yang bersangkutan beserta tujuan dan tugas-tugas strategis yang harus dikerjakan sehingga suatu lembaga tersebut memiliki sejumlah koridor sebagai bahan kontrol dan antisipasi dari segenap potensi penyimpangan. Kejelasan tujuan dan tugas strategis juga mempermudah dirinya dalam menyusun prioritas kerja secara mandiri. Jadi, independensi amat berkenaan dengan kemampuannya untuk menjalankan tugasnya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya (self-sufficiency) secara mandiri tanpa memiliki ketergantungan yang sangat kepada pihak lain. Independensi juga berkenaan dengan kemampuan pengambilan keputusan, terutama dalam pencanangan tujuan kemudian mengarahkan semua potensi yang dimilikinya dalam wujud tindakan untuk mencapai tujuan-tujuannya tersebut.
Suatu lembaga pemerintahan/birokrasi berupaya membuktikan diri mereka telah bersikap netral dan bertindak independen, apa yang dilakukan sebenarnya tidak lebih dari sebuah hubungan antarorganisasi (interorganizational network) dengan lembaga lain, seperti unit lain dalam pemerintahan, organisasi nirlaba, dan organisasi profit-oriented.
Hubungan seperti itu rentan mereduksi tingkat independensi lembaga pemerintahan, kecuali tiga persyaratan kunci berikut terpenuhi menurut Gormley dan Balla (2003:145), yaitu Pertama, setiap organisasi yang saling berhubungan memiliki pembagian tugas dan kerangka kerja yang jelas sehingga mereka hanya bertindak dan bersikap menurut batasan koridor pekerjaannya itu. Kedua, interaksi di antara organisasi tersebut harus memiliki sumber daya yang berbeda secara politik dan ekonomi. Ketiga, hubungan antarorganisasi memenuhi format hubungan yang setara dan berimbang, tidak membentuk hubungan hirarkis dengan dikotomi atas-bawah atau relasi superior-inferior. Konsensus menjadi hal utama yang menjadikan tiga persyaratan kunci tadi berjalan sehingga menghasilkan independensi dan akuntabilitas sekaligus.
Pembangunan administrasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan mengikuti pola yang dikembangkan di negara maju, baik sistem yang diterapkan di negara berkembang melalui berbagai bentuk bantuan teknik yang biasanya berada di bawah judul “pengembangan kelembagaaan” (institution building). Banyak program pembangunan kelembagaan birokrasi di negara berkembang dibantu dengan para ahli, beasiswa, dan pembiayaan oleh negara-negara maju, lembaga-lembaga internasional seperti badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia, serta organisasi-organisasi swasta seperti Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Dengan berbagai program tersebut dan melalui literatur dan studi-studi perbandingan, negara-negara berkembang mengadopsi prinsip-prinsip administrasi modern dan menerapkan ke dalam sistemnya. Yang terjadi adalah suatu bybird dari sistem yang diadopsi dan luar dan kebiasaan lama yang masih tidak mudah dilepaskan.
Sejak awal telah dijelaskan oleh pakar, bahwa tantangan utama pembangunan lebih bersifat administratif daripada ekonomi, dan bukan pula kekurangan sumber daya alam. Oleh karena itu, pembangunan atau pengembangan kelembagaan menjadi bagian penting dalam program pembangunan di hampir semua negara berkembang. Dengan asumsi bahwa birokrasi harus berperan aktif mengisi ke vacum-an karena kekuatan-kekuatan pembangunan lain dalam masyarakat tidak ada atau belum berkembang, maka birokrasi di negara berkembang tumbuh cepat. Pertumbuhan itu lebih dalam arti fisik dibanding kualitas. Artinya, organisasi berperan besar dalam penetapan tujuan (objectives setting), pengendalian, pengaturan, pemeliharaan stabilitas, dan segala kegiatan lain yang berkenaan dengan segenap aspek kehidupan masyarakat.
Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, sistem komunisme yang menerapkan dominasi negara secara sangat ekstrim, runtuh. Bersamaan dengan itu dunia bergerak menuju zaman baru, yaitu era keterbukaan global atau globalisasi yang dilandasi oleh arus liberalisasi perdagangan. Dalam kondisi demikian, untuk dapat selamat (surview), daya saing harus ditingkatkan. Untuk itu, efisieni harus ditingkatkan dan proteksi ekonomi yang menandai perekonomian dunia, khususnya ekonomi Negara berkembang pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, harus ditiadakan.
Pengalaman empiris negara-negara industri baru juga menunjukan bahwa strategi melepaskan dominasi negara atas ekonomi dan mengikuti prinsip-prinsip pasar dengan ekspor sebagai pacuan telah membuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkat pertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu, berkembang arus de-eatisme, yang dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Dalam hal ini peranan pemerintah dalam pengaturan dan keterlibatan langsung dipangkas menjadi seminimal mungkin atau hanya sepanjang yang diperlukan. Upaya ini merupakan bagian dari penyerasian struktural (structural adjusment), yang meliputi pelepasan usaha-usaha negara kepada masyarakat, pelapasan mekanisme pengendalian harga-harga, peniadaan aturan-aturan yang menghambat kegiatan
dunia usaha, dan pengurangan peran pemerintah secara langsung dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat pada umumnya.